Kamis, 11 Agustus 2011

vajrangbali-bhimasena (Book:3 The mahabharata Vana Parva)


VAJRANGBALI-BHIMASENA

          Pandava tengah melakukan tirtha yatra dan mereka banyak masuk ke pedalaman untuk menemukan banyak kebenaran di sana. Setelah berdoa pagi dan membersihkan badannya, Bhimasena kemudian berjalan untuk melakukan tirakat selanjutnya. Ia masuk dalam sebuah jalan setapak yang sedikit gelap karena ditimbuni banyak pepohonan lebat yang memiliki daun-daun yang lebar.
          Banyak semak belukar yang berada di sisi kanan dan kiri jalan, dan seseorang dapat saja terkena banyak tanaman beracun jika tidak hati-hati di sana. Akar-akar pohon gantung menjalar kesana kemari layaknya jaring laba-laba yang siap menjerat mangsa yang tidak siaga. Tempat itu sangat mengerikan dan menakutkan.
          Sebuah jalan berbatu kini mulai tampak namun tetap menanjak dengan suasana yang sama mencekam. Tiba-tiba saja langkah Bhima terheti di tengah jalan, ketika ia melihat ada ekor kera yang besar mirip tali tambang melintang di tengah jalan yang ia lalui. Bhima kemudian mencari tahu, dari mana asal mula benda aneh itu, dan ia menemukan seekor kera tua berbulu putih mulus tengah berbaring merebahkan dirinya di atas pohon, ia tampak kelelahan sekali dan tidur dengan pulas.
          Tak lama kemudian Bhima  mulai berkata:
          “Oh… kera, aku tak bermaksud untuk mengganggu istirahatmu hari ini. tetapi ekormu menghalangi jalanku, bagaimana aku dapat lewat jika ekormu melintang di depanku. Jika tidak keberatan, maka singkirkanlah ekormu, agar aku dapat melanjutkan perjalananku”.
          Kera itu membuka matanya yang sudah tua, lalu memejamkannya lagi. Bhima menjadi tak mengerti akan tingkah kera besar tua yang ada di depan matanya itu. Sekali lagi Bhima berkata:
          “Kera, aku mohon padamu, singkirkanlah ekormua, agar aku dapat lewat sekarang…”
          Kera itu tetap diam dan tak mau menyingkirkan ekornya. Kantung matanya yang sudah tua, menandakan ia sangat lelah, dan ia berkata dengan suara parau:
          “Ucapkanlah hidup Rama….”
          Setelah berkata itu, kera itu tak berkata apapun lagi. Ia tetap santai seolah tak terjadi apapun juga. Bhima sekarang menjadi gusar dan amarahnya mulai memuncak:
          “Hei..kera. Mungkin kau sudah tua, karena itu aku enggan meladeni dalam pertempuran. Tetapi perlu kau ingat, bahwa aku adalah putra pandu, akulah Bhima. Akulah yang memiliki kekuatan 10.000 ekor gajah, dan hanya dengan sekali pukul saja, aku mampu merobohkan beringin tepat kau beristirahat itu.”.
          Kera itu lalu membuka matanya sekali lagi dan menatap Bhima dengan tatapan sendu seolah Bhima adalah anak kecil yang harus di kasihani.  Ia kemudian berkata:
          “Oh..aku baru tahu kau adalah manusia hebat yang dapat merobohkan beringin hanya dengan sekali pukul. Lalu mengapa tidak kau angkat saja ekorku, dank au dapat lewat dengan segera. Ayo..ayolah, angkat..angkatlah ekorku ..nak…”
          Kera itu menyruh Bhima dengan lembut seperti seorang ayah menyuruh anaknya. Karena merasa dihini, kemarahan sekarang sudah bertengger di dalam pikiran Bhima, lalu tanpa berkata apapun lagi, Bhima memegang ekor kera itu dan berusaha untuk mengangkatnya. Tetapi Bhima tidak dapat menggerakkan ekor kera itu bahkan satu inchi pun. Tak bergeming sama sekali, Bhima mengerahkan kekuatannya dengan penuh, tetapi ekor itu tetap tidak bergerak. Bahkan hanya menggeser saja, Bhima tidak mampu.
          “Ayolah nak…mana kekuatan 10.000 ekor gajahmu itu? Kenapa ekorku saja kau tak dapat menggerakkannya..?”
          Kera itu tersenyum melihat Bhima yang tengah berjuang mati-matian hanya untuk menggeser ekornya. Sekarang Bhima terlihat seperti orang bodoh yang tak berdaya, tenaganya habis, dan ia cukup kelelahan menghadapi ekor kera itu, hanya ekor kera. Bhima kemudian mulai menyudahi usahanya yang sia-sia, dan ia sadar bahwa ddi hadapannya bukan sembarang kera, ia beranjali dan menundukkan kepala dan bersimpuh memohon ampun:
          “Oh…kera perkasa. Aku meminta maaf atas segala kelancangan yang telah aku katakana padamu. Kau bukan kera biasa, aku sadar akan kesalahanku ini, dan kini sudilah kiranya engkau memberi tahukan aku, sebenarnya siapakah dirimu?”
          “Adikku, jangan kau sungkan demikian…”.
          “Adik..? Oh kera, kau memanggilku adik, lalu siapa sebenarnya dirimu...?”.
          Setelah berkata demikian, maka kera itu bangkit dari istirahatnya dan berdiri di hadapan Bhima. Kemudian ia terlihat mulai berubah, dan badannya membesar, kemudian cahaya gemilang menutupi badannya, hingga cahaya itu luruh dalam sebuah sosok yang sangat dikenal Bhima.
          Ternyata kera itu adalah Hanuman putra Pawana yang merupakan abdi Rama yang abadi. Ia berdiri dengan pakaian surgawinya yang lengkap dengan gada emasnya di bahunya yang kekar. Dialah yang merupakan pahlawan Rama yang membakar Lanka dengan heroiknya, Dialah yang mengangkat bukit Sanjivani untuk kehidupan Laksmana. Hanuman kemudian menepuk bahu Bhima dan berkata :
          “Adikku…sekarang jamanku sudah berakhir, tiba saatnya bagimu untuk melangkah ke depan. Aku sudah melewati banyak peperangan  sebelum kau dilahirkan. Dari sana aku belajar, bahwa amarah,kesombongan dan emosi, hanya akan membawa kekuatan kita berkurang.”.
          “Aku minta maaf kakak. Tetapi amarahku datang dari ketidak seimbangan pikiranku akan masalah yang menimpa aku. Kakak sulung kami tengah bertirtha-yatra dengan tekunnya, Arjuna tengah melakukan usaha untuk mendapatkan senjata sakti. Aku sadar pertempuran pasti terjadi, karena sumpahku dan sumpah Arjuna.”
          “Bhima,…., Jika pertempuran terjadi, jangan pusatkan amarah pada senjatamu. Tetapi pusatkan kekuatan pada senjatamu, dan tempatkan tindakanmu sebagai bhakti, bukan dasar perhitungan keuntunganmu, adikku…Apapun tindakan jika diserahkan sebagai bhakti dan pelayanan, maka kita tidak akan terikat dan ketidak terikatan akan tindakan adalah ciri seorang karma yogin. Aku juga melakukan itu pada pelayananku terhadap tuanku Rama…pertempuranku, bukan karena keuntunganku, tetapi pelayanan bhaktiku pada Rama..”
          “kakak.., terima kasih atas nasehatmu. Aku minta berkatmu, berikan aku kekuatanmu..”
          “Bhima.., Sekarang aku memberikanmu berkat. Semenjak saat ini, dan ketika perang terjadi, maka aku akan berada di benderamu, aku akan bersemayam dalam panjimu, aku akan memekikkan kekalahan musuh dan dengan demikian mereka akan gentar menghadapi raungan keperkasaanmu…..”.
          Setelah memberikan berkah itu pada Bhima, maka Putra Pawana Hanuman, menghilang dari pandangan Bhimasena. Bhima tampak sangat bergembira setelah bertemu kakak yang telah memberikan dia berkat dan kini ia melangkah dengan sangat percaya diri. Berkah Hanuman, membuat hati dan perasaan Bhima sangat perkasa dan ia menjadi banyak belajar dari kalimat sang kakak.
          Tindakan, akan menjadi sempurna bila dilakukan dengan pelayanan dan bhakti kepada Tuhan, bukan kepada kepentingan dan nafsu manusia semata yang sementara. Tindakan yang ditempatkan pada kepentingan, hanya akan membawa pada sipelaku ternoda, dan ketika noda sudah menempel, maka pintu kebebasan abadi akan susah untuk di cari dan ditemukan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar