Selasa, 09 Agustus 2011

kuvaca-kundala Harana Parva (Book:3 Mahabharata)

KUVACA-KUNDALA HARANA PARVA

          Di wilayah Angadesa, seorang pemimpin tengah berbaring dalam keheningan malam. Ia menerawang jauh, berusaha untuk mencari masa lalunya yang penuh dengan misteri dan pertanyaan yang tidak ada habisnya. Dunia telah menghinanya sebagai putra kusir kereta dan ia dicampakkan karena latar belakang keluarganya yang tidak jelas.
          Dalam kemalangan besar itu, pangeran Duryodhana berbelas kasihan padanya dan mengangkat ia sebagai raja di Angadesa dalam sebuah adu kepiawaian di Hastinapura. Ialah Raja Anga Karna, dan ia dibesarkan oleh Adiratha dan istrinya Radha, kusir kereta Maharaja Dhrstarastra. Karena itu ia dikenal dengan Radheya.
          Karma berbaring di ranjang empuknya, tetapi matanya menatap langit-langit kamar dan pikirannya jauh melayang entah kemana. Hinaan demi hinaan yang dilontarkan kepadanya sudah cukup menempa kepribadiannya menjadi manusia yang tegar menghadapi masalah. Karena tak menentu dengan perasaannya, maka ia pun memutuskan untuk keluar dan menatap bintang di langit yang cerah.
          “Oh… Dewata, entah mengapa aku begitu menggebu dengan hadirnya peperangan dalam hidupku ini. ketika aku mencari jawabannya, maka aku menemukan bahwa disanalah akan hadir banyak pemanah perkasa, guru Drona dan Bhisma Putra Gangga. Mereka akan sadar dan mengetahui bahwa pemanah terhebat bukanlah Arjuna, tetapi putra kusir kereta yang hina ini”.
          Demikian ia bergumam dalam hati. Pandava adalah musuh bebuyutannya sejak dulu, dan pengaruh kuat Sakuni serta Duryodhana  membuat hatinya semakin membenci dan ingin mengalahkan Arjuna dalam sebuah pertempuran.
           Ia memandang langit di malam hari dan teringat akan pujaan hatinya, Bhatara Surya. Tetapi karena saat ini adalah malam hari, maka Matahari tidak akan tampak, posisinya digantikan oleh Bulan. Karna kemudian beranjali dan mencakupkan tangan seraya berdoa kepada pujaan hatinya itu:
          “Oh…Bhatara Surya. Jika kau berkenan pada bhaktiku selama ini, maka berikanlah aku kekuatan, bukakanlah pintu pertempuran dalam melawan Arjuna. aku sadar kau tidak akan terlihat sekarang, sebab Bulan sudah menduduki posisimu saat ini, tetapi kau akan tetap ada. Oh..Bhatara Surya, demikian juga aku. Tak satupun melihat aku sebagai seorang pemanah terbaik, aku hanya inginkan satu hal. Agar dunia tahu bahwa diantara panah-panah Arjuna, berdiri murid resi Parasurama ini
          Setelah puas menjura dan berdoa, ia tidur dalam buaian malam tanpa atap. Berbaring di atas tanah layakny seorang sanyasin yang sudah melepaskan ikatan dari dunia. Malam itu ia tidur sangat nyenyak, dan dalam tidurnya iapun bermimpi.
          Bhatara Surya hadir dalam mimpinya secara personal dengan tubuh bercahaya gemilang dan dengan tatapan wajah penuh dengan rasa belas kasihan. Radheya yang mengetahui bahwa pujaan hatinya sekarang berdiri di depannya, kemudian mulai menjura dan berkata:
          “Terimalah hormat hambamu ini”.
          “Karna… kau adalah pemuja-Ku. Maka Aku akan datang melindungimu anakku. Ingatlah pesanKu ini, besok Bhatara Indra akan hadir dalam wujud sebagai seorang sanyasin. Ia akan datang dengan cawan peminta-minta padamu, dan sebagai seorang raja, sudah kewajiban utamamu memberikan apapun yang ia minta”.
          “Maksud paduka apa? Hamba tidak mengerti..”.
          “Karna anakku, Bhatara Indra akan hadir untuk meminta kuvaca dan kundala milikmu yang sejak kecil sudah menempel di badanmu itu. Karena baju zirah itulah kau tak terkalahkan, dan karena anting-anting itulah kau tetap berjaya di medan laga. Jika itu terlepas darimu, maka pelindungmu juga akan hilang.”.
          “Tetapi paduka, hamba tidak dapat untuk menolak permintaan seorang suci seperti itu, dan hamba sudah berjanji pada diri hamba sendiri, bahwa jika seorang sanyasin datang dan memohon kepada hamba, maka akan hamba berikan”.
          “Tetapi ingatlah anakku. Sebagai gantinya, kau harus meminta senjata sakti pada Bhatara Indra. Dengan begitu kaau tetap perkasa di medan perang”.
          Setelah bersabda demikian, maka Bhatara Surya menghilang dan Radheya terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Sadar bahwa mimpinya itu adalah sebuah petunjuk, maka ia berusaha untuk memantapkan hatinya. Beranjak dari sana, ia sudah siap dengan peralatan doa pagi harinya.
          Dengan langkah mantap, ia menuju sungai dan mulai mempersembahkan air kehadapan Bhatara Surya. Ia berdoa sangat tulus dan tiba-tiba ada seseorang yang memecahkan doanya dengan kalimat parau:
          “Oh…raja…wahai raja… Wilayah apakah ini…?”
          Karna kemudian membuka matanya dan melihat sosok sanyasin tengah menengadahkan kepalanya dan membawa brahmadandi.  Kemudian Karna menjawab:
          “Ini adalah wilayahku, Angadesa. Salam hormatku padamu wahai pendeta agung. Sucikanlah diriku dengan telapak tanganmu yang bertuah itu.”.
          “Raja.. aku adalah pengembara, dan aku tahu bahwa kau adalah seorang yang dermawan. Aku kedinginan, dan berikanlah aku kuvaca serta anting-antingmu agar aku dapat melanjutkan perjalananku ini”.
          Tanpa basa-basi lagi sanyasin itu meminta Kuvaca dan Kundala dari Karna. Dengan segera Karna mengambil pisau yang terselip dipinggangnya untuk melepaskan baju zirah dan anting-anting yang secara alami menempel di badan Karna.
          Ia menoreh sedikit demi sedikit badannya hingga baju zirah itu terlepas dan mencabut anting-antingnya dengan suash payah. Badanya kini berlumuran darah, tetapi ia tampak gagah dengan memberikan itu semua, tak ubahnya seperti Vali yang mempersembahkan kepalanya untuk Tri Vikrama.
          Setelah dilepas semua, maka baju dan anting itupun diserahkan kepada sanyasin tersebut. Seketika setelah menerima itu, maka sanyasin itu berubah menjadi Bhatara Indra dengan cahaya badannya yang cemerlang.
          “Kau Aku berkati, Karna… jayalah..”.
          “Hamba sudah tahu bahwa diri-Mu adalah Bhatara Indra yang menyamar menjadi sanyasin. Terimalah itu Paduka, sebagai persembahan hamba pada-Mu”.
          “Mengapa kau mengetahuinya Karna..?”
          “Sebab, tanpa bertanya terlebih dulu siapa hamba, Engkau telah menyebut hamba sebagai raja. Berarti Engkau telah mengetahui siapa hamba dan sengaja datang ke mari untuk meminta baju itu”.
          “Kau sungguh luar biasa. Murid Ramabhargava adalah cakap dalam segala hal, Aku bangga padamu. Sekarang katakan padaKu apa yang kau pinta dari-KU”.
          “ Tuanku. Jika Engkau benar-benar berkenan padaku, maka berikanlah aku senjata sakti. Bahkan musuh sehebat apapun akan roboh dengan senjata itu..”.
          Setelah menyatakan permintaannya, Karna menjura, dan Bhatara Indra memberikan sebuah senjata sakti bernama konta. Tetapi Bhatara Indra bersabda:
          “Karna..senjata ini sangat sakti. Betapapun kekuatan lawanmu, mereka akan roboh dengan senjata ini. Tetapi senjata ini hanya sekali pakai, dan setelah kau gunakan, senjata ini akan langsung kembali pada-Ku lagi”.
          Setelah berkata demikian, senjata bersinar seperti api itu diterima oleh Karna dan Bhatara Indra menghilang. Radheya cukup puas dengan senjata yang dianugerahkan padanya itu, dan ia sangat percaya bahwa suatu ketika nanti Arjuna akan dapat dikalahkan dengan anak dan busur panahnya sendiri.
untuk lebih menghayati, memahami, bagaimana pesan kebijaksanaan yang terdapat di dalam Mahabharata, dan Mahabharata sebagai salah satu cara belajar Veda yang komperhensif, maka dapat di baca di dalam buku: Phala Sruti Itihasa Jenjang Belajar Veda. penerbit :PT Pustaka Bali Post.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar