Selasa, 09 Agustus 2011

mahabharata(book3) bagian ke tiga


MAHARESI DVAIPAYANA VYASA

          Untuk sementara waktu, hati pangeran Duryodhana dapat berbahagia, sebab dalam wilayah Hastinapura yang serba berkemakmuran demikian, ia hidup laksana Bhatara Indra yang mengatur semuanya. Namun demikian, hati Maharaja Dhrstarastra gundah gulana, tampaknya kemenangan anaknya di meja dadu belum dapat membahagiakan hatinya secara utuh. Keinginan terbesarnya adalah menjadikan anaknya satu-satunya pewaris tahta, dan apapun itu permintaan anaknya ia turuti. Kecintaannya terhadap anak sudah membuat ia buta dalam segala hal, dan semenjak saat itu, ia tak dapat menikmati hidup dengan tenang.
          Suatu ketika, Maharesi Dvaipayana Vyasa hadir di Hastinapura, dan Beliau di sambut langsung oleh Maharaja dengan penghormatan yang layak bagi Brahmana. Maharaja mempersilahkan sang resi duduk, kemudian Maharaja melakukan puja dan mencuci kaki Bhagavan Dvaipayana Vyasa, lalu ia bersimpuh, dengan tangan beranjali ia menjura dan berkata:
          “Oh…pendeta bijaksana, setelah berkeliling seluruh wilayah, Engkau sudah menemukan banyak berbagai macam kebijaksanaan. Engkau adalah samudra ilmu pengetahuan, jikalau penghormatanku ini tidak berkenan di hatimu, maka maafkanlah aku”.
          “Dengarlah olehmu wahai Maharaja…leluhurmu adalah manusia perkasa dan agung, mereka termasyur karena memegang teguh prinsip kebenaran. Sekarang tampuk pemerintahan ada padamu, dan sebagai raja yang baik, tidak sepantasnya engkau berlaku tidak adil dalam segala hal..”
          Kalimat pertama Maharesi tampaknya sudah dimengerti oleh Maharaja, seketika roman mukanya berubah drastis, dan ia tertunduk lesu. Sadar bahwa tindakannya keliru, maka ia tak mampu lagi berbuat apapun juga, ia seperti seorang yang tengah putus asa, bimbang dan tak tentu arah. Kemudian Maharesi melanjutkan pembicaraan:
          “Dengarkan oh raja…dalam mempin sebuah negara, kecintaan terhadap sanak keluarga hendaknya ditempatkan pad abagian akhir tindakanmu. Ini berarti apapun hal yang menyangkut dinastimu, negaramu, dan juga kepentingan rakyatmu harus kau dahulukan. Membuang Pandava ke tengah hutan, bukan sebuah tindakan yang baik, dan itu merupakan satu contoh buruk bagi rakyatmu…Apakah kau melakukan itu atas dasar cintamu pada putramu sendiri..?”
          “Wahai guru suci, kau dapat saja berkata demikian, sebab kau tak memiliki putra. Aku sebagai seorang ayah, tentu aku berharap yang terbaik bagi putraku.”
          “Oh raja, aku berbicara bukan kau sebagai seorang ayah, tetapi pandanglah ia sebagai warga negara, sebab putramu juga warga negara. Jika ia bersalah maka hukumlah ia sebagaimana warga negara yang lain, jangan terlalu memanjakannya dan membenarkan setiap tindakannya yang sudah nyata-nyata keliru..”
          “Wahai guru mulia. Apa yang kau katakana benar, tetapi sangat sulit bagiku untuk memandang Duryodhana sebagai warga negara, sebab bagaimanapun ia adalah putraku..jadi maafkan aku guru…”
          Sadar apa yang dinyatakan suaminya adalah keliru, maka Gandhari bangkit dan menjura kehadapan Maharesi dan meminta maaf:
          “Oh pendeta agung…Janganlah engkau duka dengan apapun yang suamiku katakana. Ia tengah bingung dan cemas akan nasib putranya…Suamiku, hendaknya kau mematuhi apapun yang menjadi nasehat guru suci, dengan berkata demikian, maka sama saja dengan membangkak perintah guru… jangan menghancurkan jembatan tali kasih yang kita bangun selama ini dengan putra Pandu”.
          Kalimat istrinya tampaknya tidak terdengar di telingan maharaja yang tengah sibuk berfikir bagaimana putranya dapat menjadi seorang pewaris tahta kelak. Bahkan kehadiran Maharesi tidak menjadikan dirinya sadar dengan selama ini yang terjadi padanya. Seorang raja yang berada dalam dilemma adalah sebuah detik kehancuran bagi negaranya, seorang raja yang terlalu kasih pada sanak keluarganya, tidak terlalu layak untuk memimpin negara, sebab raja yang demikian  suatu ketika nanti akan mendahulukan kepentingan keluarganya dari pada rakyatnya, dan itu adalah buruk.
          Sadar bahwa nasehatnya tak akan dapat merubah pola pikir Maharaja, Bhagavan pergi meninggalkan Maharaja di bali rung istana. Sementara itu, pangeran Duryodhana, Sakuni, Duhsasana, Radheya, duduk bersama di tempat yang terpisah dari Maharaja. Namun pengawal Duryodhana sudah melaporkan bahwa Maharesi Dvaipayana Vyasa mendatangi Maharaja. Mendengar kalimat berita yang demikian, maka pangeran Duryodhana naik pitam:
          “Oh…Pamanku…kau dengar tadi..? seorang pendeta datang dan menasehati ayahku dengan segala macam petuah yang basi. Paman, ini bukan berita yang baik, pikiran ayahanda dapat diracuni, dan mungkin saja ada sebuah perintah untuk menjemput Pandava kembali ke Hastinapura…”
          Sakuni kemudian menimpali pangeran, ia bangkit dan menepuk pundak keponakannya yang tersayang itu:
          “Oh..keponakanku..jangan cemaskan Maharaja, telinganya sudah kebal dengan segala nasehat, dan lagi pula, ia terlalu cinta padamu, tak mungkin bagi maharaja untuk memanggil kembali putra-putra Pandu. Yang seharusnya menjadi beban pikiran kita sekarang adalah Mahaguru Drona dan juga Mahaguru Krpa
          Raja Anga Karna kemudian berkata pada Sakuni: “Paman… apakah yang kau katakan, bukankah yang paling menghawatirkan adalah Bhisma Putra Gangga? Aku memiliki pikiran yang buruk dengan Bhisma
          “ Tak usah kau cemaskan Bhisma, oh Raja Anga. Ia adalah singa yang terikat akan mahkota, apapun perintah raja adalah sebuah kewajiban yang harus diikuti olehnya, jadi apapun bentuk serangan nasehat yang datang kepada Maharaja, yang paling menghawatirkan adalah Drona Acarya dan juga Mahaguru Krpa.”
          Sakuni berusaha meyakinkan pangeran dan raja Anga, sahabatnya itu. Ia bagaikan ular berbisa dan memberikan racun pada setiap susu. Benarlah apa yang dinyatakan oleh para bijak, bahwa segelas susu adalah baik, tetapi jika susu itu telah disentuh dengan ular, maka susu itu beracun. Seseorang pada dasarnya adalah mulia, tetapi karena pergaulan yang buruk, maka ia menjadi manusia durbudi.
          “Keponakanku, dari pada kalian harus memikirkan guru tua itu, maka pikirkan bagaimana sebaiknya menembaki Pandava di hutan. Oh..raja Anga, jika kau menjadi pandava, maka apa yang kau lakukan…?”
          “Paman… jika aku menjadi mereka, maka aku akan mengumpulkan senjata saktiku, dan menggempur Hastinapura dengan kekuatanku..”
          “Oh.. baru sekarang aku mendengarkan kalimat bijaksanamu itu, tetapi dengarkanlah olehmu Raja Anga, kita serang mereka dengan perasaan yang dihina. Kita injak-injak harga diri mereka, dan dengan demikian, mereka akan kehilangan kekuatan mereka. Sebab bagaimanapun kuatnya seseorang, jika ia kehilangan harga diri, maka ia akan menjadi orang yang lemah…Oh keponakanku bidiklah panah penghinaanmu itu dan arahkan pada harga diri mereka. Pergilah ke hutan dan buatlah tenda di sana, kemudian carilah kesempatan untuk menghina kemelaratan mereka di sana.ha.haa.haa”
          Setelah berkata demikian, maka mereka bersiap-sipa mengumpulkan segenap perbekalan untuk di bawa ke hutan. Dengan harapan, bahwa di sana mereka dapat menghina saudara mereka yang hidup dari mengais makanan di hutan. Berita tentang rencana buruk itu didengar oleh Mahaguru Drona, kemudian ia mendatangi Bhisma dan menyampaikan berita buruk itu.
          “Oh..Putra Gangga, dengarkanlah oleh mu. Pangeran hendak pergi ke hutan, mereka meminta ijin Maharaja dengan alasan berburu ke hutan. Aku paham betul siasat licik yang dilakukan raja Gandhara pada pangeran, aku tidak menghawatirkan Yudhisthira, ataupun Arjuna yang tak mau menuruti nasehat kakak tertuanya. Yang aku khawatirkan adalah Bhima, sebab ia seperti angin, jika ia sudah mulai bergerak, maka tak satupun yang dapat menghalanginya, tak satupun tak satupun…”
          “Apa yang kau katakana benar Mahaguru..jika Bhima tak tahan akan penghinaan yang ia saksikan nanti, mungkin saja ia akan mengamuk dan menghancurkan pangeran di sana, dan ini bukan sesuatu yang baik bagi kita semua. Oh mahaguru, jangankan aku, bahkan Guru Vyasa pun sudah menasehati Maharaja, tetapi Maharaja tetap demikian. Kita tak dapat berbuat apapun juga, kita hanya dapat berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja”.
         

Catatan : Maharesi Krsna Dvaipayana Vyasa adalah pengkodifikasi Veda yang agung. Beliau adalah putra Bhagavan Parasara dan Beliaulah yang menulis Mahabharata, Purana-purana, Vedanta Sutra (Brahma Sutra), dan merupakan saudara Bhisma Putra Gangga. Dengan demikian Beliau adalah leluhur pandava dan kaurava.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar