Selasa, 09 Agustus 2011

mahabharata (book3) bagian ke dua


ARANYAKA PARVA

          Pandava kemudian membangun sebuah pondok di hutan. Mereka mengumpulkan jerami kering, rerumputan untuk tempat tidur mereka, dan mereka berteduh dari hujan dan panas di bawah timbunan daun-daun kering. Bukan pualam lagi yang mereka injaki sehari-hari, tetapi tanah yang terkadang becek karena hujan, dan terkadang keras karena sengatan matahari. Kesengsaraan mereka rasakan sekarang, dan hanya untuk memasak saja, mereka harus bersusah payah mengumpulkan kayu kering untuk perapian.
          Yudhisthira, tengah tenggalam dalam tirakatnya untuk melakukan sebuah penebusan dosa, dan hutan adalah tempat yang baik untuknya. Tetapi tidak demikian dengan Bhima, ia merasa gusar dan marah jika harus mengingat Duryodhana, Karna, Duhsasana, Sakuni yang menghina mereka dengan laknat di meja dadu. Biasanya, Draupadi dilayani oleh banyak dayang-dayang, maka kini ia harus memenuhi semua kebutuhan hidupnya seorang diri. Tidak terasa hampir mendekati hari 13 mereka tinggal di hutan, dan mereka hidup dalam kesengsaraan.
          Sementara itu di Hastinapura, Bhisma  mendekati Arya Vidura yang tengah duduk dalam pikirannya sendiri, memecahkan urusan pemerintahan sendiri:
          “Anakku…”
          “Oh….salam hormatku paman. Ada apa gerangan sehingga apaman harus datang menemui aku di sini, katakana saja, biar aku yangmenghadap paman…” demikian kata Vidura, lalu Bhisma menjawab:
          “Anakku…menurut kitab sastra, dalam keadaan tertentu, 13 hari dapat di samakan dengan 13 tahun. Sekarang sudah 13 hari pandava di hutan, maka sama dengan 13 tahun lamanya, aku minta, aku mohon padamu, bujuklah raja, dan katakana bahwa sudah seharusnya Pandava dijemput untuk pulang…”
          “Paman..kau sendiri paham bagaimana tabiat raja, Maharaja Dhrstarastra sangat mengasihi Duryodhana, dan ia tak mungkin melakukan tindakan yang dirasakan akan merugikan anaknya itu. Seperti katamu, bahwa 13 hari dapat disamakan dengan 13 tahun. Lalu apakah raja Dhrstarastra dapat menerima kebenaran ini dengan lapang? Atau dapatkan Duryodhana menerima kedatangan saudaranya dengan gembira?”
          “Anakku…jangan mematahkan semangat pamanmu ini yang sudah renta. Satu-satunya harapan bagiku, diumurku yang tua ini, adalah hidup bersama cucu-cucuku dengan kasih, tapi tampaknya itu hanya sebuah angan-angan. Aku diberkati oleh Devata agar dapat memilih hari kematianku, namun jika begini keadaannya, maka kematian serasa sudah sangat dekat denganku…aku mohon anakku, bujuklah raja dan katakan permintaanku ini padanya”
          “baiklah paman, jika itu yang paman kehendaki, aku akan memathuinya. Meskipun aku sadar bahwa tak mudah untuk mengatakan kebenaran pada baginda raja, namun aku akan berusaha. Berkati aku paman, aku mohon diri…”
          Setelah berkata demikian, Vidura kemudian menuju balai rung dimana Maharaja Dhrstarastra duduk disinggasana itu. Setelah tiba, maka Vidura mulai berkata sembari menjura penuh hormat:
          “Hormatku pada raja…”
          “Oh..kau Vidura…ada apa? Mengapa malam begini kau datang? Ada urusan penting apa gerangan, dan tidak biasanya kau menghampiriku tengah malam ini?”
          “Ampuni aku maharaja…aku hanya cemas akan masa depan Hastinapura. Sebuah keruntuhan, tampaknya akan terjadi jika baginda raja tak mengindahkan nasihat hamba.”
          “Nasihat apa Vidura..?”
          “Yang mulia…Pandava sudah berada di hutan 13 hari lamanya. Menurut kitab sastra, maka dalam keadaan tertentu, 13 hari sama dengan 13 tahun. Jadi berdasarkan rujukan itu, maka sebaiknya, demi sebuah kemakmuran, kesentosaan dan menghindari permusuhan, maka biarkanlah Pandava kembali ke Indraprastha.”
          “Hai…kurang ajar kau Vidura..!! siapa yang sebenarnya telah mencuci otakmu? Apakah kau tidak setia padaku lagi, pada tangan yang telah memberimu makan? Apa kau mengira, dengan kembalinya Pandava, maka permusuhan tidak akan timbul?”
          “Ampuni hamba yang mulia, hamba paham, benar dengan tabiat Pandava, dan lagipula Dharmaraja adalah panutan kebenaran, ia sangat kasih pada Duryodhana dan tidak pendendam. Jadi uluran tangan untuk perdamaian, sebaiknya kita mulai terlebih dahulu…sebab kehancuran keluarga, betapapun kecilnya adalah hal buruk”
          “Oh….Jadi kau sudah berani menasihati aku..ah..!!! lancang benar kau memerintahkan aku demikian, aku adalah raja, dan keputusan 13 tahun adalah tetap 13 tahun, jika itu dig anti 13 hari sama dengan 13 tahun, maka dimana letak kebenarannya? Kau kira dengan demikian, anakku Duryodhana akan bahagia dengan ini. jika kau masih berkata demikian lagi, maka aku tak akan menganggapmu ada lagi. Sekarang enyah dari sini, dan pergilah sesuka hatimu, Hastinapura tak memerlukan dirimu lagi…pergi…pergi.kau jahanam..pergi..!!!”
          Dibentak demikian, Vidura menjadi sangat sedih, hatinya terpukul dan tak mengira ia akan diusir dengan kejam yang tak ubahnya seperti seekor anjing. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan raja yang buta itu sendirian. Benarlah kata sang bijak bahwa kekayaaan, kemasyuran, dan keterikatan akan menghilangkan kebijaksanaan seorang pemimpin. Yajna tanpa daksina adalah mati, prajurit tanpa panglima adalah mati, dan negara tanpa pemimpin yang saleh adalah mati.
          Bhisma mendengar perihal pengusiran yang dilakukan Dhrstarastra kepada Vidura. Ia naik pitam, dan nafasnya terengah-engah tak menentu. Berjalan dengan cepat, ia menuju kediaman Maharaja dengan segera, dan dengan nada yang sangat panas, Bhisma kemudian berkata pada Dhrstarastra:
          “Tindakan bodoh macam apa yang kau lakukan raja..? apakah demikian sikapmu sebagai seorang pemimpin..? kau tahu benar bahwa tampuk pemerintahan selanjutnya adalah Yudhisthira, lalu mengapa kau melakukan pekerjaan gila membuang ia ke hutan, dan kini kau semakin tak tahu diri, mengusir menterimu yang paling arif di kerajaan ini..! aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu yang dangkal itu, sebagai seorang raja kau terlalu bodoh…”
          Raja kemudian menjawab:
          “Oh..paman…dengarkan aku dulu…aku tak menginginkan anakku sengsara untuk yang kesekian lakinya. Sebab bagaikan dua ekor singa, yang tak dapat hidup dalam satu hutan yang sama, maka demikian juga mereka, Duryodhana dan Yudhisthira tak dapat hidup berdampingan…”
          “Cukup…raja, cukup…pembagian wilayah sudah kau lakukan, dan itu mendiskriditkan Yudhisthira. Tetapi putra Kunti itu masih menerima dengan bijak. Sayang sekali putramu Duryodhana tak mengerti akan hal itu. Dan aku kemari bukan untuk kau sebagai seorang ayah, tetapi kau sebagai seorang raja”
          “Paman…kau dapat berkata demikian, karena kau tidak memiliki seorang putra. Sedangkan aku punya, aku takut dengan kegagalan putraku…”
          “Kesayanganmu yang berlebihan, pada anakmu membuat kau lupa dengan kewajibanmu sebagai seorang raja. Apakah kau mengira, kau menjadi raja karena dipilih rakyat? Tidak..tak satupun manusia normal mau memilihmu menjadi raja.berikan putramu pengertian, jangan membiarkannya manja seperti itu. Putra yang manja adalah anak yang bodoh. Jauh lebih baik tidak memiliki anak, atau anakmu mati, dari pada memiliki anak bodoh tetapi manja. Sebab anak mati, yang tak lahir dan tidak memiliki anak, hanya akan membawa kesedihan sekali dalam seumur hidup. Namun anak bodoh dan manja, membawa kesengsaraan seumur hidupmu, dalam sepanjang jalan”
          “paman…hentikan, aku mohon. Jangan kau caci maki putraku itu.”
          “ Sekarang..aku minta padamu, jemput kembali Vidura, ajak ia kembali pulang. Jika kau membangkang, maka semuanya akan lenyap, semuanya akan tenggalam dalam kegelapan, kau akan lenyap dan Hastinapura akan ditelan kegelapan, kau dan Hastinapura…”
          Setelah berkata demikian, Bhsima pergi meninggalkan putra Vicitravirya itu seorang diri. Vidura adalah menteri yang bijak serta saleh. Dalam sebuah wilayah, jika seorang raja didampingi oleh penasehat yang busuk, maka bukan hanya negara, bahkan rajapun dapat binasa. Karena penasehat busuk tak ubah seperti ular berbisa, yang sewaktu-waktu dapat menggigit. Tetapi, jika seorang penasehat bijak mendapingi seorang raja, maka negara itu akan makmur, dan raja juga mendapatkan nama baik.
          Setelah mendapatkan kalimat yang tidak menyenangkan hati demikian, maka raja Hastinapura itu merasa sangat sedih dan kecewa. Bagaikan sebuah sambaran petir, kalimat Bhisma seolah mengutuk akan kehancuran dinasti Kuru yang sudah berjaya bertahun-tahun lamanya, menenggelamkan dinasti yang pernah di buat oleh yayati, dan kini harus berada dalam sebuah dilemma keluarga yang hitam legam tanpa ada jalan keluar yang pasti. Hanya sebuah egoisme pribadi, kejayaan sebuah lambang dinasti dapat hancur seketika.
          Merasa bersalah demikian, maka ia segera mengirimkan utusan untuk menjemput kembali Vidura yang sudah ia usir bagaikan anjing tadi. Perasaannya kini seperti seorang anak kecil, menagis di depan ayahnya sendiri lantaran perbuatannya yang keliru.
          Sementara itu, di hutan maharaja Yudhisthira masih mengenakan pakaian seorang pertapa, duduk dengan tatapan sayu dan tenang memusatkan pikiran pada Sang Hyang Paramakawi. Tetapi adiknya, Bhima dan juga Arjuna, Nakula, Sahadeva, sudah berpakaian perang dengan lengkap. Senjata mereka masing-masing sudah ada di bahu mereka, wajah mereka bagaikan dewa maut, kemudian beranjali dan memberikan salam hormat pada kakak tertua mereka:
          “Hormat kami kakak.”
          Melihat pakaian mereka demikian aneh, maharaja Yudhisthira kemudian berkata:
          “Mengapa kalian membawa banyak senjata? Apakah kalian lupa, kita masih dalam masa pembuangan, dan tatacara kalian saat ini kurang tepat. Ayo, duduklah bersama kakak mari kita memuja Dewata..”
          “Ampuni kami kakak, masa pembuangan kita berakhir hari ini. kitab sastra menyatakan bahwa 13 tahun dalam keadaan genting dapat disamakan dengan 13 hari. Kita sekarang pergi menggempur Hastinapura, dan meluluhlantakkan negeri itu dengan kekuatan kita. Kita berlima, sudah cukup untuk membumi hanguskan mereka semua, tak tahan melihat rambut Pancali yang terurai, aku mohon kakak, bangkitlah dan ikut bersama kami…”
          “Berperang..? gadamu itu yang menjadi pedoman bagimu. Bhima  apakah kau lupa, ksatria perkasa bukan diukur dengan kekuatan, tapi sejauh mana ia mampu mengendalikan pikiran dan tindakannya itu. Aku masih dalam proses penebusan dosa, jadi aku tidak menginginkan perang, lagi pula Duryodhana adalah saudara kita, untuk apa kita harus bertempur melawan saudara sendiri”
          “Ha.haa.haaa.haaa.haa.haaa..apakah kakak mengira, Duryodhana menganggap kita ini saudaranya? Apakah harus kita menunduk pada keangkuhan hatinya? Kakak, katakanlah padaku, apakah kita harus memungut hak-hak kita dari muntahan yang keluar dari mulutnya yang penuh bisa itu?”
          “jangan kau mencaci maki saudaramu demikian. Apakah kau mengira, perang akan menyelesaikan masalah? Perang hanya akan terjadi, jika seluruh jalan perdamaian sudah tertutup, sudah tertutup.”
          Ketika Yudhisthira menasehati saudaranya yang penuh emosi demikian, maka tiba-tiba saja terdengarlah pantulan suara ribuan ekor kuda datang dari arah depan. Maharaja Yudhisthra kemudian menghentikan pembicaraan, dan sejenak kemudian datang seorang tamu yang agung, ia adalah pangeran Dhrstadyumna, putra maharaja Draupada, kakak kandung dari Pancali. Ketika mereka melihat itu, Dewi Pancali langsung memberikan salam hormat pada kakaknya, dan pangeran Dhrastadyuman berkata pada mereka:
          “Hormatku maharaja Yudhisthira. Aku datang kemari, hanya untuk mengatakan padamu, bahwa panji perang kerajaan Kampilya ada dipihakmu, dan aku akan bersenang hati jika hari ini kau memerintahkan aku untuk menggempur Hastinapura. Aku mohon padamu Yudhisthira, bangkitlah, ikutlah bersama aku dan kita hancurkan panji Hastinapura”.
          “Mengapa pangeran? Aku tak inginkan perang? Aku sungguh tak ingin adaperpecahan di antara kita.”
          “Oh…apakah ini sikap putra Pandu yang disegani dunia. Kau melarikan diri dari pertempuran..? aku sangat tidak setuju dengan putusanmu yang meninggalkan kebijaksanaan perang…?”
          “Pengeran…perang bukanlah sebuah tindakan bijaksana, dan aku mengerti akan kepedihan hatimu. Tapi mohon dengarkan aku pangeran…Jika untuk menghantam Hastinapura, kami berlima saja sudah cukup, tak perlu lagi bantuan darimu…tapi aku haturkan banyak terima kasih pada kepedulianmu itu…”
          Setelah berkata demikian, Dhrstadyuman memalingkan wajahnya kepada Draupadi¸ dan iapun berkata :
          “Oh.,adikku yang malang, apakah kau ingin ikut bersama kakak pulang ke Pancala…? Hutan bukanlah tempat yang layak untukmu, dan ayah juga berpesan padaku untuk membawamu ikut serta”
          Dewi Draupadi kemudian berkata:
          “Maafkan aku kakak..aku tidak dapat pergi mengikutimu ke Kampilya, sebab dalam peradaba Veda dimana suami berada di sanalah istri ada. Aku tak dapat meninggalkan maharaja seorang diri di hutan, dan sukanya adalah sukaku, sedihnya juga adalah dukaku..aku mohon mengertilah akan kewajibanku kakak…”
          “ JIka demikian adanya, maka aku pun tidak dapat berkata apapun…adikku, jagalah dirimu baik-baik di sini. Hamaraja jika demikian keinginanmu itu, maka aku pun tak dapat berkata apapun juga. Aku mohon diri…”
          Setelah berkata demikian, maka Dhrstadyumna pergi meninggalkan mereka di hutan. Perasaan pangeran itu juga tidak menentu, padahal, ia sudah mempersiapkan dirinya dengan ribuan anak panah dan senjata aneka warna untuk menggempur Hastinapura, tetapi karena Yudhisthira tidak menginginkan perang, maka ia pun pulang dengan segera.

Catatan : Dhrstadyuman adalah putra maharaja Draupada, maka ia memiliki hubungan ipar dengan Pandava. Kuru dan Yayati adalah salah satu leluhur Kaurava.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar