Sabtu, 27 Agustus 2011

Empat Yuga dan Kualifikasi


MANU-KUALIFIKASI EMPAT YUGA

Oleh: Gede Agus Budi Adnyana,S.Pd.B.,M.Pd.H

          Ada sebuah interpretasi yang menyatakan bahwa Manu lebih tepat merujuk pada sebuah pengertian yang langsung menuju pada Tuhan Yang Maha Esa sendiri. Jika memang demikian, maka kita akan mendapatkan beberapa ketimpangan untuk keterangan kitab-kitab Purana, bahwa dalam periode satu Manvantara, seorang Manu memerintah sebagai tonggak awal di mana jaman yang baru telah ada.
          Kita adalah manusia yang hidup bereinkarnasi dalam beberapa generasi dan di banyak bentuk badan entitas kehidupan. Manvantara tepat dimana hari ini kita hidup adalah Manvantara ke tujuh yang diperintah oleh Satyavrata yang kemudian dinobatkan oleh Sang Hyang Narayana menjadi Vaivasvata Manu. Kemudian jika kita runutkan maka kita akan mendapatkan sebagai berikut:
  1. Manvantara I diperintah oleh Svayambhuva Manu.
  2. Manvantara kedua diperintah oleh Svarocisa Manu.
  3. Manvantara ketiga diperintah oleh Uttama Manu.
  4. Manvantara keempat diperintah oleh Tamasa Manu.
  5. Manvantara kelima diperintah oleh Raivata Manu.
  6. Manvantara keenam diperintah oleh Caksusa Manu.
  7. Manvantara ketujuh diperintah oleh Vaivasvata Manu.
  8. Manvantara kedelapan diperintah oleh Suryasavarni Manu.
  9. Manvantara kesembilan diperintah oleh Daksasavarni
  10. Manvantara  kesepuluh diperintah Brahmasavarni.
  11. Manvantara kesebelas diperintah Dharmasavarni.
  12. Manvantara keduabelas diperintah Rudrasavarni.
  13. Manvantara tigabelas diperintah Roucya Manu.
  14. Manvantara empat belas diperintah oleh Bhoutya.
Dalam banyak hal, seluruh kualifikasi manusia dan mahluk yang menghuni Bumi akan mengalami perubahan total, baik yang dalam tataran material atau mahluk yang berada dalam kapasitas niskala. Perubahan itu juga yang mengarah pada terlupakannya seluruh narasi sejarah masa silam dinasti Manu-manu yang memerintah.
          Jika pendapat yang menyatakan Manu adalah Tuhan secara mutlak, maka itu sah-sah saja, tetapi jika kita perhatikan dimana seorang Maharaja Satyavrata yang kemudian memiliki kualitas rohani yang baik, kemudian bertemu avatara Sang Hyang Vishnu, maka oleh Bhatara Vishnu, ia dinobatkan menjadi Manu, ini menunjukkan bahwa manusia di awal penciptaan adalah manusia yang memiliki kualifikasi yang hampir setara dengan Dewata.
          Ada banyak kecerdasan mereka yang tidak dapat kita tiru di jaman Kali sekarang, atau ada banyak keajaiban yang terjadi dan terdengar aneh di telinga manusia Kali Yuga yang kecerdasan spiritualnya sudah menurun serta kualitas rohaninya terpuruk karena banyak hal. Maka narasi sejarah Purana dan juga Mahabharata akan terkesan muluk-muluk dan penuh dengan imajinasi dari penulis purba yang menetap di hutan belantara dengan tangan-tangan kreatif mereka.
          Untuk itulah, di sini kita perlu mengetahui bentuk jaman ke jaman dan kualifikasi yang mengikutinya. Misalnya, kitab Bhavisya Purana yang meramalkan kejadian masa akan datang, kemudian dinasti baru yang memerintah dunia, seperti Pradyota, Sisunaga, Nanda, Mourya, Sunga, Kanvayana dan yang lainnya. Bagaimana mungkin kitab itu juga meramalkan kemunculan yang Mulia Baginda Nabi Muhammad, jika kitab tersebut hanya bualan resi jaman dulu?
          Intinya adalah resi masa silam adalah para siddha yang telah diberkati dengan kemampuan untuk melihat masa depan. Itu tentu dengan kecerdasan spiritual dan kualifikasi rohani yang mumpuni, melalui banyak tapa, tirakat dan juga sadhana spiritual yang cukup ketat. Bahkan mereka mampu membuat badan mereka sendiri melawan hukum Gravitasi di Bumi, mereka melayang terbang dan terkadang menghilang untuk beberapa saat dan muncul lagi di tempat yang lain.
          Kemudian mereka mampu melakukan percakapan dengan para Dewata dan menghasilkan banyak rumus-rumus yang sangat tepat, misalnya membuat senjata nuklir Illahi, kemudian kendaraan terbang yang memiliki kecepatan cahaya yang mampu mengunjungi banyak tempat spektakuler, dan jika ini kit abaca, maka dengan ketumpulan kecerdasan dan kotornya rohani kita, maka narasi ini seperti dongeng anak SD.
          Mahabharata dan juga Ramayana kemudian kitab Purana yang lainnya menyuguhkan ada banyak perjalanan angkasa dan bahkan mengunjungi planet yang lain dengan bantuan kapal terbang yang disebut Pusphakai atau Vimana. Maharesi Bharadvaja yang termasuk resi terkemuka memberikan ulasan mengenai bagaimana mesin ini terbang dengan baik. ini kualifkai jaman Satya dimana manusia memiliki kesetaraan dengan mahluk siddha loka yang lain.
          Kemudian dengan demikian, di awal Satya Yuga, maka Manu dan beberapa garis dinasti Beliau memiliki pencitraan yang unik untuk manusia Kali Yuga. Kemudian dalam satu periode yang disebut dengan Mahayuga, maka kita akan mengenal empat jaman dan ini merupakan paruh waktu, dimana kecerdasan manusia juga mengalami perubahan. Tretha Yuga masih cerdas namun sudah merosot sedikit demi sediki. Untuk Dvapara Yuga, kemerosotan mulai muncul di mana-mana dalam bentuk yang nyata, dan Kali Yuga adalah saat dimana kemerosotan sebagai mascot dan dengan kemerosotan moral, maka kecerdasan manusia juga akan menurun, secara pasti kualifkasi rohaninya juga menurun, lalu dengan kondisi yang demikian, bagaimana mungkin meyakini Mahabharata sebagai kisah nyata?
          Bahkan sekarang ada banyak umat Hindu yang tidak yakin dengan para Dewa, atau tidak punya rasa hormat pada para Dewa yang menjadi junjungannya sendiri. Contoh, suatu ketika ada sebuah iringan Ida Bhatara yang tengah menuju sebuah tempat patirthaan. Seorang yang tengah duduk di dalam sebuah mobil mewah lengkap dengan catnya yang mengkilat ada di jalur yang berseberangan.
          Padahal, jalan tersebut sepi dan ada banyak waktu untuk mematikan mesin kemudian turun dari mobil dan menunduk hormat kepada Ida Bhatara, tetapi dengan congkaknya manusia dungu itu tetap diam di atas mobil dengan kaca mata hitamnya memandangarah yang berbeda, seolah Ida Bhatara tidak ada di depan dia. Inilah contoh kita sudah mulai kehilangan rasa hormat, jika demikian keadaannya bagaimana mungkin memberikan pemahaman akan banyak konsep masa silam yang nyata dan diutarakan banyak resi, sebab kecerdasan mereka tumpul karena kurangnya bhakti.
          Ada lagi, sebuah kasus dimana Ida Bhatara Ratu Gede lunga untuk melancaran dan memberikan berkat kepada umatnya. Ketika iringan Beliau tiba di sebuah perempatan jalan, maka Ida Bhatara Ratu Gede mulai menari, tetapi alangkah malangnya, di salah satu sudut perempatan itu ada tempat main bola billayard dengan kumpulan anak muda yang menghisap rokok ngelepus seperti naga banda sedang main bola sodok. Mereka tidak peduli dengan kehadiran tapakan Ida Bhatara, mereka acuh dan tanpa menghormat sedikipun.
          Oh… jika orang itu sudah berjnani melihat kebenaran dalam tataran Jiva dan Brahmavidyanya sudah matang dan tak terikat lagi, maka itu wajar saja. Tetapi mereka berbeda, mereka adalah manusia yang dengan nasib malangnya belum mendapatkan pencerahan sedikipun. Andaikata ada seseorang yang berbaik hati datang ke meja bola sodok itu dan menceramahi mereka dengan tata susila dan filsafat, tentu penceramah itu akan ditendang habis.
          Wah, wah, wah… bagaimana mungkin sekarang kita memberikan narasi agung Mahabharata kepada mereka? Tentu dengan kecerdasan tumpul mereka, Mahabharata adalah dongeng. Mereka lebih tertarik dengan bola sodok dari pada membicarakan pengetahuan dan kebijaksanaan dari masa silam. Apakah masa silam itu kuno, primitive dan terbelakang dalam segala hal? Tidak, sebelum memberikan cap bahwa masa silam itu terkebelakang, maka kita akan coba membicarakan sedikit peradaban atau hasil peradaban mereka yang mengagumkan, yang spektakuler yang bahkan di jaman sekarang ini saja, manusia masih kebingungan mencari cara untuk menyamakan diri mereka dengan hasil peradaban masa lalu itu yang megah.

Kamis, 11 Agustus 2011

nivatikavaca-yudha parva

NIVATIKAVACA YUDDHA PARVA

          Setelah mendapatkan banyak anugerah dari para Dewata, maka Arjuna kini semakin perkasa dan tidak berbeda dengan Bhatara Indra sendiri. Berdiri dengan gandhiva ditangannya yang kekar, ia terlihat seperti Yama yang akan datang mencabut nyawa setiap mahluk. Keperkasaan Arjuna ini kemudian membuat hati banyak para Dewata menjadi teringat akan kesusahan dan kesengsaraan yang tengah menimpa diri mereka.
          Seorang Raksasa diberkati oleh Bhatara Siva, yang bernama Nivatikavaca dengan berbagai macam kesaktian tengah membuat huru-hara di kalangan Siddha Loka. Berkat yang ia terima adalah hampir sama dengan pendahulunya, Hiranyakasipu, bahwa ia tak akan pernah kalah di tangan Dewa, Yaksa, Dhanawa, raksasa, dan juga mahluk siddha loka lainnya. Inilah yang menyebabkan ia merasa sangat kuat dan mulai menebarkan terror dimana-mana.
          Merasa tak terkalahkan oleh Dewa, maka ia menyerbu kahyangan Indra untuk menduduki Surga dengan instant, kemudian ia bercita-cita membawa seluruh kaumnya untuk masuk planet Surga dengan tanpa berbuat saleh sedikitpun. Kelakuannya sungguh membuat masalah, dan kedunguannya membuat ia menjadi congkak akan keperkasaan yang ia miliki.
          Tetapi, berkah itu akan terhenti jika ada manusia sakti yang akan menjajal dirinya di dalam medan perang. Hal inilah yang membuat para Dewa menjadi menaruh harapan besar pada Dhananjaya, sebab Nivatikavaca dapat dibunuh dan tiraninya segera berakhir. Untuk itulah, Bhatara Indra memanggil Arjuna menghadap untuk menceritakan semua masalah yang menimpa alam Dewa.
          Arjuna merasa sangat terberkati dengan tugas yang dibebankan pada dirinya sekarang. Menjura meminta berkat kehadapan Bhatara Indra, kemudian ia berkata:
          “Oh..penguasa surga, janganlah Engkau khawatir terhadap Nivatikavaca. sejak dalam rahim ibu, hamba sudah didik dalam nafas Veda bahwa tugas utama seorang ksatria adalah membela kebenaran, dan hamba sudah berjanji menyerahkan hidup hamba kehadapan Bhatara Indra. Jadi perintah ini seperti berkat bagi hamba”.
          “Arjuna, ketahuilah olehmu, bahwa Nivatikavaca memiliki banyak senjata sakti. Ia diberkati Sang Hyang Mahadewa dan dengan demikian, bahkan 12 Aditya juga harus kewalahan dalam menghadapinya. Berhati-hatilah Arjuna, sebab tugasmu ini menyangkut seluruh penghuni alam Dewa.”.
          Setelah memberikan berkat kepada Arjuna, Bhatara Indra kemudian memerintahkan kusir kereta perangnya, Matali untuk menjadi sais Arjuna. Arjuna diberikan banyak upacara kejayaan dalam perang, dan berkat dari banyak Dewa. Ia naik ke atas kereta perang Bhatara Indra dan Matali menjadi saisnya secara langsung. Panjinya berkibar dengan gagahnya, dan kuda-kuda itu tampak perkasa sekali, bercahaya serta mampu berlari bermil-mil dalam sekejap.
          Anak panah yang tak pernah habis, ada dibahu Arjuna, dan gandhiva sudah tergantung di bahu kanannya. Ia kemudian maju dengan berkah Dewa menghadapi Nivatikavaca sendirian tanpa prajurit. Persis seperti Bhatara Shankara maju ke medan perang ketika hendak menghancurkan Tri Pura.
          Langit bergemuruh karena kereta Bhatara Indra turun, dan panjinya membuat awan-awan gelap bermunculan. Nivatikavaca adalah sosok yang trampil membaca pertanda alam, dan ia sadar  bahwa salah satu Dewa sekarang datang untuk bertempur dengannya. Segera, ia berkemas dengan segala macam senjata aneka warna, menyambut datangnya musuh di medan laga.
          Alangkah terkejutnya ia, ketika ia melihat bukan Bhatara Indra yang berdiri di atas kereta itu, melainkan sosok manusia yang memiliki rambut gempel, dengan dada bidang dan berpakaian layaknya pertapa. Dari sais keretanya ia segera tahu bahwa yang berdiri didepannya adalah Putra Kunti, bernama Arjuna. tersenyum lebar menyambut Arjuna, raja raksasa itu berkata:
          “Oh..ada anak kemarin sore datang menantang aku di sini. Dari mana kau dapatkan kereta perang milik Bhatara Indra? Biar aku tebak, mungkin Bhatara Indra takut dan melarikan diri, kemudian kau tampil didepannya menjura seperti seorang pemberani yang akan menyelamatkan surga. Manis sekali anak kecil…ha..wuahaa.haa.haaa.haa.ha.h..haaaa”
          Arjuna tidak berkata apapun untuk menjawab hinaan Nivatikaavaca, ia hanya memandang musuhnya dengan tatapan tajam. Merasa tidak diindahkan, maka raksasa itu kembali berkata:
          “Oh..malang benar aku berbicara kepada orang bisu. Hai bocah, karena aku sekarang sedang berbaik hati, maka cepatlah pergi dari sini, jika tidak, maka anak panahku akan memenggal kepalamu itu..!”
          Sekali kagi Arjuna tidak menjawab, kemudian Arjuna mengambil sankha kalanya yang bernama Devadatta. Kemudian ia mulai meniup terompet kerang itu dengan keras, dan hasilnya suara terompet itu menderu-deru, meraung-raung bagaikan singa lapar. Memecah angkasa dan membahana memenuhi langit, setengah kekuatan Nivatikavaca sudah terserapo dalam deruan terompet itu, dan ia bergetar secara tidak sengaja.

          Untuk menyembunyikan rasa takutnya itu, maka Nivatikavaca berteriak dan menghujani Arjuna dengan anak panah. Bagaikan orang yang tengah frustasi, ia mengamuk membidikkan anak panah mautnya kea rah Arjuna, dan Arjuna juga membalas serangan itu dengan gesit.
          Anak panah mereka beradu di angkasa dan meledak di sana dengan sangat keras. Tidak satupun anak panah Nivatikavaca berhasil menembus pertahanan Arjuna. ia bertambah geram, dan karena amarah telah menguasai dirinya, maka arah tembaknya juga semakin ngawur dan tidak terarah.
          Ini membuat Arjuna mendapatkan kesempatan untuk melumpuhkan serangan musuhnya. Dengan satu anak panah, Arjuna mematahkan busur Nivatikavaca. kemudian dengan satu anak panah, Arjuna memotong dawai busurnya. Lalu satu anak panah lagi melesat dan menebas panji milik Nivatikavaca, dan akibatnya panji yang berkibar jaya itu jatuh ke tanah.
          Nivatikavaca sekarang sungguh tidak berdaya di buat oleh Arjuna. ia merasa sangat geram, dan segera mengambil sebilah tombak tajam dan dengan kekuatan penuh tombak itu dilemparkan kepada Arjuna. melayang cepat diangkasa, maka tombak itupun patah karena tembakan anak panah Arjuna. segera Arjuna mengambil Agniastra dan melepaskannya pada musuhnya itu.
          Sekarang api berkobar-kobar dan melesat cepat laksana kilat. Whusss..wshus…api itu menyembur dan menghantam kereta perang Nivatikavaca hingga berantakan. Raksasa itu terbang melayang setelah kehilangan keretanya di medan laga. Sekarang ia sadar bahwa Arjuna bukan anak kemarin sore. Arjuna tidak boleh dianggap remeh dan harus melawannya dengan baik-baik.
          “Hai..bocah, aku sungguh kagum pada kecepatan dan caramu memainkan anak panah. Tidak aku sangka, Bhatara Indra punya pelayan sehebat kamu. Sampai tadi, tidak ada satupun mahluk yang mampu menghancurkan panjiku yang menjadi kebanggaanku itu. Tapi kau sudah membuktikannya Arjuna, sekarang kau boleh tersenyum, tapi lihatlah ini…hiyaat…..aku akan membakarmu…!!!”.
          Setelah berkata demikian, Nivatikavaca kemudian membesarkan badannya, dan dari setiap siku-siku serta pergelangan tangan kakinya, keluarlah api berpijar hebat. Api itu menjilat-jilat seperti lidah lapar yang melihat makanan empuk. Sekarang tubuhnya tak ubah seperti api samvartaka diakhir jaman yang akan menelan dunia.
          Arjuna sadar kini musuhnya sangat murka, dan ia kemudian mengambil Varunaastra dan membidikkannya pada Nivatikavaca. senjata itu melesat dengan siraman air yang keras, dan memadamkan api Nivatikavaca dengan segera. Raksasa itu merengang dan berteriak:
          “Ehhhh…arghhaarhghh….Arjunaa….!!!.
          Dengan kekuatan batinnya, ia mengeluarkan senjata sakti berupa pedang dengan dua mata yang tajam. Pedang itu dilemparkn pada Arjuna, daaasshh…dasaashhh…. Melesat dan mengarah tepat pada Arjuna. Tetapi dengan segera, Arjuna kemudian melepaskan anak panah yang dapat berubah wujud menjadi tameng pelindung. Pedang dua mata itu jatuh dan tak dapat menembus pertahanan Arjuna.
          Nivatikavaca  semakin garang dan ia bernafsu untuk segera membunuh Arjuna. Putra pandu melihat lawannya yang tengah berdiri tanpa kereta perang, merasa sangat iba. Raksasa hebat itu, terlihat seperti orang dungu ketika tanpa kereta perang. Arjuna merupakan ksatria yang menjunjung tinggi nilai kejujuran dalam perang, kemudian ia pun melompat dari atas kereta perangnya dan mengnunus pedangnya kemudian menerjang Nivatikavaca dengan cepat.
          Bagaikan seekor singa yang lapar, Arjuna mengamuk dan menghujamkan pedangnya ke badan Nivatikavaca. raksasa itu merasakan bagaimana cepatnya serangan Arjuna yang tak ubahnya seperti halilintar. Namun Nivatikavaca juga merupakan petarung ulung, ia seorang maharatika dan berpengalaman di medan laga. Ia menyambut serangan Arjuna dengan pedangnya yang panjang dan menebas-nebaskan secara cepat pada Arjuna.
          Sesekali keluar percikan api dari ke dua senjata yang beradu itu. Teriakan Nivatikavaca membuat peperangan itu seperti pertempuran Bhatara Indra dengan Vrtra yang dinyanyikan dalam Reg Veda. Mereka seperti Hiranyaksa yang tengah beradu ilmu dengan Varaha. Mereka tak ubahnya seperti Kartikeya yang bertempur dengan Tarakasura.
          Kedua pedang itu beradu, dan kini tangan mereka sama-sama telah terasa pegal. Tetapi mereka tetap bertahan untuk menang, dorongan dari kaki Arjuna lebih keras, dan tendangan memutar mendarat tepat di dada Nivatikavaca, hingga raksasa itu terlempar beberapa meter ke belakang.
          Merasa musuhnya sangat kuat, maka Nivatikavaca memejamkan matanya, dan dengan kekuatan gaibnya, ia menciptakan kereta perang yang lengkap dengan senjata. Raksasa itu meloncat naik ke atas kereta dan panjinya kini berkibar kembali. Ternyata ia sengaja menjebak Arjuna agar turun dari kereta perangnya dan meninggalkan semua senjata, dengan demikian Nivatikavaca dapat menyerang Arjuna dengan sangat leluasa.
          Meskipun demikian, Arjuna tidak khawatir, dan ia tetap memperlihatkan wajah yang tenang menghadapi musuhnya licik itu. Kini anak panah melesat ke arah Arjuna, dan dengan tebasan pedangnya, ia berhasil mematahkan serangan itu. Nivatikavaca berdecak kagum dalam hatinya, sebab baru sekarang ia menemukan lawan sehebat Arjuna.
          Dhananjaya kemudian melemparkan pedangnya kea rah musuhnya itu, tetapi daya lempar itu tidak secepat ketika ia berada di atas kereta perang. Matali, sais kereta Bhatara Indra, sadar akan keadaan yang tidak menguntungkan di pihak Arjuna, maka ia memutar keretanya untuk turun dan menjemput Arjuna. dengan segera Putra Pandu itu melompat dan mengambil gandhivanya dan segera membidik lawannya.
          Bagaikan Bhargava yang tengah murka, Arjuna menghujani Nivatikavaca dengan ribuan anak panah sekaligus. Anak panah itu bagaikan badai dan angina topan, sehingga langit pun tampak gelap karena hujan anak panah. Gudakesha telah diberkati oleh banyak Dewata, ia mendapatkan berkat yang luar biasa. Karena itu, sehebat apapun musuhnya, kewalahan juga akan menghadapi hujan panah Arjuna.
          Nivatikavaca mundur beberapa meter untuk menghindar dari serangan Arjuna. ia kemudian mengambil anak panah berbentuk bulan sabit dan dibidikkannya pada Arjuna. panah itu bersinar laksana ribuan mentari dan cahanya membuat musuh akan susah melihat dengan jarak pandang yang tepat. Arjuna kemudian membidikkan anak panahnya, pemberian Hyang Kartikeya, jendralnya para Dewa.
          Kedua senjata itu melesat cepat..daashsaa…….dan meluncur laksana kilatan cahaya. Tiba-tiba panah Arjuna berubah menjadi tameng yang besar dan menelan candraastra milik Nivatikavaca. Sorak sorai bergemuruh dipihak para Dewa yang ikut menyaksikan pertempuran itu dari langit. Mereka membunyikan sankha kala untuk membesarkan hati Arjuna.
          Suprabha kemudia turun dari barisan para Vidyadara dan menghampiri Arjuna, layaknya Vibhisana menghampiri Rama ketika sedang bertarung melawan Ravana. Ia membisikkan kelemahan Nivatikavaca yang tepat berada di pangkal tenggorokannya itu. Kini Arjuna mantap untuk menyerah titik vital lawannya yang taguh itu.
          Dengan penuh percaya diri, Arjuna kemudian mengambil Devadattanya dan meniupnya dengan kencang. Bagaikan raungan singa, suara sankhanya menderu dan meraung-raung memberikan pertanda bahwa ia siap menghabisi musuhnya sekarang. Dhananjaya memejamkan matanya, dan secara gaib, panah pasupati sudah berada di tangan ksatria perkasa itu dengan segera.
          Panah itu dibidikkan tepat ditempat kelemahan Nivatikavaca.Kemudian..ddaaaaaaassshhhhh...panah pasupati meluncur dengan sangat cepatnya dan tepat mendarat di kerongkongan Nivatikavaca. Raksasa itu menggelepar dan meregang kesakitan, ia berteriak keras bagaikan guntur yang menggelegar membelah langit. Raksasa itu ambruk dan badannya jatuh dengan beratnya bagaikan puncak gunung yang runtuh, badan itu membuat gemba bumi yang cukup hebat. Ia tergeletak sangat gagahnya dengan anak panah menancap di kerongkongannya.
          Sebagai seorang maharatika, ia gugur dengan sangat terhormat di medan laga. Bertempur sangat berani dan ia menunjukkan dirinya sebagai seorang ksatria yang hebat. Bulan akan tampak indah ketika menjadi purnama, samudra akan indah karena gelombangnya yang tinggi, seorang pertapa akan indah ketika brahmadanda ada di tangannya, seorang Brahmacari akan indah ketika ia membaca Veda, dan maharatika akan terlihat gagah jika ia gugur dalam sebuah pertarungan di medan laga.
          Para Dewa bersorak menyambut kemenangan Arjuna, dan mereka menjatuhkan hujan bunga kepada Dhananjaya. Semuanya mengelukan nama Arjuna sebagai pahlawan dan di sambut langsung oleh para Dewa. Seluruh Dewa yang hadir memberikan berkah kepada Arjuna.
          Seketika Arjuna menjura dihadapan para Dewa. Ia menghormat dengan segera dan menundukkan kepalanya sebagai sebuah persembahan rasa bhaktinya. Arjuna kemudian menjatuhkan dirinya di kaki Bhatara Indra dan menyentuhkan mahkotanya yang indah itu ke tanah.berkali-kali Arjuna melakukan itu, dan berkali-kali juga ia menerima berkat dari para Dewa. untuk lebih mengetahuinya secara lengkap, maka bacalah buku berikut, dan dapatkan di toko terdekat di kota anda:



vajrangbali-bhimasena (Book:3 The mahabharata Vana Parva)


VAJRANGBALI-BHIMASENA

          Pandava tengah melakukan tirtha yatra dan mereka banyak masuk ke pedalaman untuk menemukan banyak kebenaran di sana. Setelah berdoa pagi dan membersihkan badannya, Bhimasena kemudian berjalan untuk melakukan tirakat selanjutnya. Ia masuk dalam sebuah jalan setapak yang sedikit gelap karena ditimbuni banyak pepohonan lebat yang memiliki daun-daun yang lebar.
          Banyak semak belukar yang berada di sisi kanan dan kiri jalan, dan seseorang dapat saja terkena banyak tanaman beracun jika tidak hati-hati di sana. Akar-akar pohon gantung menjalar kesana kemari layaknya jaring laba-laba yang siap menjerat mangsa yang tidak siaga. Tempat itu sangat mengerikan dan menakutkan.
          Sebuah jalan berbatu kini mulai tampak namun tetap menanjak dengan suasana yang sama mencekam. Tiba-tiba saja langkah Bhima terheti di tengah jalan, ketika ia melihat ada ekor kera yang besar mirip tali tambang melintang di tengah jalan yang ia lalui. Bhima kemudian mencari tahu, dari mana asal mula benda aneh itu, dan ia menemukan seekor kera tua berbulu putih mulus tengah berbaring merebahkan dirinya di atas pohon, ia tampak kelelahan sekali dan tidur dengan pulas.
          Tak lama kemudian Bhima  mulai berkata:
          “Oh… kera, aku tak bermaksud untuk mengganggu istirahatmu hari ini. tetapi ekormu menghalangi jalanku, bagaimana aku dapat lewat jika ekormu melintang di depanku. Jika tidak keberatan, maka singkirkanlah ekormu, agar aku dapat melanjutkan perjalananku”.
          Kera itu membuka matanya yang sudah tua, lalu memejamkannya lagi. Bhima menjadi tak mengerti akan tingkah kera besar tua yang ada di depan matanya itu. Sekali lagi Bhima berkata:
          “Kera, aku mohon padamu, singkirkanlah ekormua, agar aku dapat lewat sekarang…”
          Kera itu tetap diam dan tak mau menyingkirkan ekornya. Kantung matanya yang sudah tua, menandakan ia sangat lelah, dan ia berkata dengan suara parau:
          “Ucapkanlah hidup Rama….”
          Setelah berkata itu, kera itu tak berkata apapun lagi. Ia tetap santai seolah tak terjadi apapun juga. Bhima sekarang menjadi gusar dan amarahnya mulai memuncak:
          “Hei..kera. Mungkin kau sudah tua, karena itu aku enggan meladeni dalam pertempuran. Tetapi perlu kau ingat, bahwa aku adalah putra pandu, akulah Bhima. Akulah yang memiliki kekuatan 10.000 ekor gajah, dan hanya dengan sekali pukul saja, aku mampu merobohkan beringin tepat kau beristirahat itu.”.
          Kera itu lalu membuka matanya sekali lagi dan menatap Bhima dengan tatapan sendu seolah Bhima adalah anak kecil yang harus di kasihani.  Ia kemudian berkata:
          “Oh..aku baru tahu kau adalah manusia hebat yang dapat merobohkan beringin hanya dengan sekali pukul. Lalu mengapa tidak kau angkat saja ekorku, dank au dapat lewat dengan segera. Ayo..ayolah, angkat..angkatlah ekorku ..nak…”
          Kera itu menyruh Bhima dengan lembut seperti seorang ayah menyuruh anaknya. Karena merasa dihini, kemarahan sekarang sudah bertengger di dalam pikiran Bhima, lalu tanpa berkata apapun lagi, Bhima memegang ekor kera itu dan berusaha untuk mengangkatnya. Tetapi Bhima tidak dapat menggerakkan ekor kera itu bahkan satu inchi pun. Tak bergeming sama sekali, Bhima mengerahkan kekuatannya dengan penuh, tetapi ekor itu tetap tidak bergerak. Bahkan hanya menggeser saja, Bhima tidak mampu.
          “Ayolah nak…mana kekuatan 10.000 ekor gajahmu itu? Kenapa ekorku saja kau tak dapat menggerakkannya..?”
          Kera itu tersenyum melihat Bhima yang tengah berjuang mati-matian hanya untuk menggeser ekornya. Sekarang Bhima terlihat seperti orang bodoh yang tak berdaya, tenaganya habis, dan ia cukup kelelahan menghadapi ekor kera itu, hanya ekor kera. Bhima kemudian mulai menyudahi usahanya yang sia-sia, dan ia sadar bahwa ddi hadapannya bukan sembarang kera, ia beranjali dan menundukkan kepala dan bersimpuh memohon ampun:
          “Oh…kera perkasa. Aku meminta maaf atas segala kelancangan yang telah aku katakana padamu. Kau bukan kera biasa, aku sadar akan kesalahanku ini, dan kini sudilah kiranya engkau memberi tahukan aku, sebenarnya siapakah dirimu?”
          “Adikku, jangan kau sungkan demikian…”.
          “Adik..? Oh kera, kau memanggilku adik, lalu siapa sebenarnya dirimu...?”.
          Setelah berkata demikian, maka kera itu bangkit dari istirahatnya dan berdiri di hadapan Bhima. Kemudian ia terlihat mulai berubah, dan badannya membesar, kemudian cahaya gemilang menutupi badannya, hingga cahaya itu luruh dalam sebuah sosok yang sangat dikenal Bhima.
          Ternyata kera itu adalah Hanuman putra Pawana yang merupakan abdi Rama yang abadi. Ia berdiri dengan pakaian surgawinya yang lengkap dengan gada emasnya di bahunya yang kekar. Dialah yang merupakan pahlawan Rama yang membakar Lanka dengan heroiknya, Dialah yang mengangkat bukit Sanjivani untuk kehidupan Laksmana. Hanuman kemudian menepuk bahu Bhima dan berkata :
          “Adikku…sekarang jamanku sudah berakhir, tiba saatnya bagimu untuk melangkah ke depan. Aku sudah melewati banyak peperangan  sebelum kau dilahirkan. Dari sana aku belajar, bahwa amarah,kesombongan dan emosi, hanya akan membawa kekuatan kita berkurang.”.
          “Aku minta maaf kakak. Tetapi amarahku datang dari ketidak seimbangan pikiranku akan masalah yang menimpa aku. Kakak sulung kami tengah bertirtha-yatra dengan tekunnya, Arjuna tengah melakukan usaha untuk mendapatkan senjata sakti. Aku sadar pertempuran pasti terjadi, karena sumpahku dan sumpah Arjuna.”
          “Bhima,…., Jika pertempuran terjadi, jangan pusatkan amarah pada senjatamu. Tetapi pusatkan kekuatan pada senjatamu, dan tempatkan tindakanmu sebagai bhakti, bukan dasar perhitungan keuntunganmu, adikku…Apapun tindakan jika diserahkan sebagai bhakti dan pelayanan, maka kita tidak akan terikat dan ketidak terikatan akan tindakan adalah ciri seorang karma yogin. Aku juga melakukan itu pada pelayananku terhadap tuanku Rama…pertempuranku, bukan karena keuntunganku, tetapi pelayanan bhaktiku pada Rama..”
          “kakak.., terima kasih atas nasehatmu. Aku minta berkatmu, berikan aku kekuatanmu..”
          “Bhima.., Sekarang aku memberikanmu berkat. Semenjak saat ini, dan ketika perang terjadi, maka aku akan berada di benderamu, aku akan bersemayam dalam panjimu, aku akan memekikkan kekalahan musuh dan dengan demikian mereka akan gentar menghadapi raungan keperkasaanmu…..”.
          Setelah memberikan berkah itu pada Bhima, maka Putra Pawana Hanuman, menghilang dari pandangan Bhimasena. Bhima tampak sangat bergembira setelah bertemu kakak yang telah memberikan dia berkat dan kini ia melangkah dengan sangat percaya diri. Berkah Hanuman, membuat hati dan perasaan Bhima sangat perkasa dan ia menjadi banyak belajar dari kalimat sang kakak.
          Tindakan, akan menjadi sempurna bila dilakukan dengan pelayanan dan bhakti kepada Tuhan, bukan kepada kepentingan dan nafsu manusia semata yang sementara. Tindakan yang ditempatkan pada kepentingan, hanya akan membawa pada sipelaku ternoda, dan ketika noda sudah menempel, maka pintu kebebasan abadi akan susah untuk di cari dan ditemukan.


tirtha-yatra Parva: Book 3 Vana Parva: The Mahabharata


TIRTHA-YATRA PARVA

          Bab ini mengisahkan bagaimana ketika Arjuna yang tengah melakukan tugasnya di Surga Loka, berbarengan dengan kedatangan seorang maharesi Romaharsana kepondok Pandava. Pendeta terkemuka ini adalah ahli Purana, dan merupakan murid dari Bhagavan Krsna Dvaipayana Vyasa sendiri. Beliaulah yang hari ini mengunjungi Pandava tepat ketika Arjuna tengah berada di Surga. Dengan disambut sangat mulia, sang pertapa ini kemudian memberikan wejangan tentang bagaimana pentingnya sebuah tirtha yatra.
          “Anakku, jika dalam sebuah lingkaran, jari-jarinya adalah sebuah tindakan tanpa hasrat, dan titik tengah dari itu semua adalah perjalanan suci mengunjungi banyak tirtha. Ini menjadikan manusia disucikan secara sadar atau tidak, dan membuat mereka memiliki sebuah kualifikasi kesucian tingkat tinggi untuk mengerti hakikat kebenaran”.
          “Maksud pendeta?”
          “Untuk alasan yang sama jugalah, ada banyak pencari kesempurnaan harus mengembara dari satu tempat ke tempat yang lainnya untuk menginsyafi hal tersebut. Ada banyak raja-raja dan pemimpin besar dunia sebelum anakku, melakukan perjalanan suci dan menemukan visi suci di tempat mereka melakukan sebuah tirakat”.
          Baru demikian, kata Romaharsana Maharesi, Bhima langsung sadar dengan pentingnya sebuah perjalanan suci. Visi suci dan kesempurnaan juga dapat diambil dalam kapasitas yang sama dengan melakukan tirtha yatra. Alasan mengapa sang pendeta agung berpesan mulia demikian, adalah karena di Surga, Arjuna telah menjura dan memohon kepada sang resi agar turun dan menasehati kakak sulungnya dan saudaranya yang lain untuk melakukan tirtha yatra.
          Selain itu, nasehat yang juga disampaikan adalah mereka setidaknya melakukan punia agar apapun yang terjadi, dapat melatih diri menerima secara ikhlas dan memberi secara ikhlas pula. Kedermawanan akan membawa manusia pada keagungan dan nama baik, secara sadar ini adalah pasti.
          Tetapi keagungan tersebut terkadang ternoda karena sebuah punia yang tidak didasari atas pencarian hakikat kebenaran, hanya pamer kekuasaan dan kekayaan. Pandava  yang tengah berada di hutan, tentu tidak banyak memiliki harta kekayaan sebanyak pangeran Duryodhana di Hastinapura.
          Meskipun demikian, jalan untuk melakukan punia sangat banyak dan beragam. Melayani Brahmin dan pertapa yang ada di hutan dan menjaga mereka dengan suasana aman adalah salah satu bentuk yang dapat mereka lakukan saat ini.
          Mendapatkan nasehat demikian, mereka kemudian melakukan apapun yang diperintahkan sang resi. Masuk dalam wilayah pasraman satu ke yang lainnya dan menemukan ada banyak pertapa yang harus mereka layani dengan baik. maharaja Dharma melakukan itu dengan sangat tulus ikhlas, dan memang secara kualifikasi, rohani dan ketajaman spiritual Yudhisthira melebihi saudaranya yang lainnya, bahkan dinyatakan karena menjunjung dharma yang sangat tinggi, maharaja Yudhisthira hampir melayang beberapa inchi di atas tanah karena kesuciannya.
          Kesucian ini juga yang menjadi kekaguman banyak pertapa dan manusia bijak lainnya. Romaharsana kemudian berkata kepada maharaja Dharma :
          “Oh yang terpelajar dari segala raja, engkau memiliki kebijaksanaan yang menjadi dasar kemuliaanmu di dunia. Maharaja, dengarkanlah aku, peliharalah kemuliaanmu itu dalam bhakti yang dalam, sebab kesucian batinmu akan membawa keagungan pada nama dan juga keturunanmu kelak”
          Semua mendengarkan apa yang dinyatakan oleh sang resi. Kemudian pertapa ahli Purana itu kemudian kembali berkata :
          “Oh rajan, kesucian dan ketabahan hati dalam melakukan bhakti, dapat mencapai sebuah kejayaan, kejayaan yang sama dengan yang yang didapatkan oleh Bhagiratha ketika hendak menurunkan Ibu Gangga dari surga ke Bumi. Dengar dan cermatilah ceritaku sekarang.”
          Dahulu, ketika Satya Yuga mulai memperlihatkan paruh waktunya di Bumi, seluruh mahluk yang saleh memiliki kualifikasi yang setara dengan para Dewa. Bumi menjadi sebuah tempat yang sangat damai untuk dihuni, dan pemerintahan waktu itu dipimpin oleh Maharaja Sagara. Beliau adalah raja yang saleh dan perkasa, ada banyak punia yang beliau dapatkan dari tindakan terpujinya itu.
          Suatu ketika, Maharaja Sagara berkeinginan untuk melakukan upacara Aswamedha yaga,dimana seekor kuda putih menjadi sarana utama dalam perhelatan akbar itu. Konsekwensinya adalah, ketika seseorang melakukan upacara Aswamedha, maka dapat dinyatakan wilayah Bumi yang lain akan tunduk dan menjadi bawahan maharaja Sagara.
          Ini dapat diterima sebagai sebuah tindakan benar, mengingat maharaja adalah pemimpin yang saleh. Tetapi putranya tidak demikian. Maharaja memiliki dua orang permaisuri bernama Dewi Sumati dan juga Dewi Kesini, mereka melahirkan putra sebanyak 60.000 orang banyaknya, dan salah satunya yang terkemuka adalah Asamanjasa. 60.000 putra maharaja memiliki tabiat yang buruk, tidak gemar membaca Veda, tidak senang berupacara, senantiasa menentang banyak Brahmin dan membakar banyak pertapaan di hutan. Mereka membuat para Dewa dan pengikut Veda menjadi sangat gusar.
          Jika upacara Asvamedha itu berjalan dengan baik, maka sudah dapat dipastikan bahwa 60.000 putra maharaja akan menyalahgunakan kekuasaan mereka dan bumi dapat saja menjadi planet yang mengerikan untuk dihuni. Oleh sebab itu, para Dewa menyusun sebuah rencana, kemudian Bhatara Indra mengambil kuda aswamedha itu secara gaib dan memindahkannya ke patala, tepat dimana pasraman Kapila Muni berada, disanalah kuda itu diikat untuk sementara waktu.
          Sang Muni yang tengah tenggelam dalam meditasi yang dalam, tetap diam dan terpejam dengan kejadian itu. Tetapi seluruh putra maharaja Sagara menjadi panik karena hilangnya kuda persembahan. Akhirnya mereka mencari kesetiap pelosok dan tempat yang di perkirakan kuda tersebut berlari. Asamanjasa juga ikut mencari kuda tersebut hingga kelangit dan patala.
          Tibalah mereka di sebuah pasraman milik Resi Kapila, dan terlihatlah di sana kuda mereka terikat tepat di bawah pohon di mana sang resi tengah bertapa. Murkalah seluruh putra maharaja Sagara ke 60.000 orang itu dan tanpa bertanya terlebih dahulu, mereka menuduh sang resi mencuri kuda mereka. Dengan tindakan bodohnya itu, mereka berencana untuk menyerang sang resi dengan serempak dan membunuhnya seketika.
          60.000 orang maju dengan senjata ditangan hendak menyerang pendeta yang tengah bertapa itu. Ketika mereka berlari hendak menerjang, mata Kapila Muni terbuka dan dari sana keluarlah api yang berkobar hebat kemudian membakar 60.000 orang itu hingga menjadi abu. Melihat saudaranya sudah menjadi abu, maka menangislah Asamanjasa dan menjura di hadapan maharesi Kapila.
          Ia memohon ampun atas segala kesalahan saudaranya dan meminta belas kasihan agar roh saudaranya mendapatkan tempat yang lebih layak. Akan tetapi sang resi tidak dapat memberikan jaminan itu, sebab dosa yang dilakukan ke 60.000 orang itu sangat berat, hanya air suci Gangga yang dapat memprayascitta mereka agar mereka dapat naik ke alam yang lebih sempurna.
          Diberikan petunjuk demikian, maka Asamanjasa melakukan tapa hebat untuk menyenangkan hati Ibu Gangga. Sampai akhir hayatnya, Asamanjasa tidak berhasil menurunkan sungai suci Gangga. Putra Asamanjasa bernama Amsumanna, dan mendapati keadaan leluhurnya yang sengsara demikian dari penasehat kerajaan. Hati kecilnya tergerak dan berusaha untuk menurunkan Ibu Gangga dengan melakukan tapa, maka bertapalah Amsumanna.
          Tetapi sampai akhir hayatnya, Amsumanna juga tidak berhasil menurunkan sungai suci Gangga. Ia memiliki putra bernama Maharaja Dilipa, dan maharaja Dilipa juga melakukan hal yang sama, ia bertapa hanya untuk menurunkan sungai suci Gangga. Demikian pula yang terjadi, sampai akhir hayatnya, ia tidak berhasil menurunkan sungai suci Gangga.
          Maharaja Dilipa memiliki putra bernama Maharaja Bhagiratha, dan Bhagiratha juga melakukan tapa yang sangat hebat untuk menurunkan sungai Gangga. Dengan demikian, ia mulai berdiri dengan satu kaki dan menengadah ke langit, sambil mengucapkan pranawa Omkara. Ia terus memandang matahari dengan posisi yang tidak menyenangkan itu.
          Kemudian ia bertapa dengan duduk dan mengatur nafasnya di tengah badai salju yang dingin dan menusuk tulang. Bhagiratha tetap bertahan untuk menyenangkan hati Ibu Gangga. Kemudian ia mulai tidak makan dan untuk bertahan hidup ia hanya meminum air putih saja, sambil melakukan tapa dengan posisi padmasana.
          Bertahun-tahun lamanya ia melakukan tapa hebat demikian, maka berkenanlah hati Ibu Gangga dan Beliau menampakkan diri di depan Bhagiratha. Maharaja kemudian mengutarakan niat kerasnya untuk memprayascitta abu leluhurnya dulu dengan air suci Gangga, dan Ibu Gangga berkenan padanya.
          Tetapi, permasalahan yang muncul adalah jika Ibu Gangga turun dari surga ke Bumi, maka Bumi akan mengalami gempa yang sangat hebat dan air bah terjadi, ini sangat membahayakan seluruh mahluk di bumi. Sebab dalam Tri Bhuana ini, tidak ada yang dapat menahan derasnya aliran kekuatan sungai suci Gangga, kecuali paduka Bhatara Siva.
          Dengan demikian, Ibu Gangga memerintahkan Bhagiratha untuk mulai bertapa dan berdoa menyenangkan hati Bhatara Siva. Tanpa banyak mengulur waktu, Bhagiratha kembali melakukan tapa untuk menyenangkan hati Bhatara Siva. Ia berdiri dengan satu kaki dengan tangan tercakup ke atas kepala, lalu matanya memandang langit. Ia berdoa tanpa henti, dan musim dingin atau panaspun, tak dapat mempengaruhinya.
          Akhirnya berkenanlah hati Bhatara Siva dan Beliau juga berjanji untuk menahan derasnya laran sungai Gangga agar bumi ini tidak mengalami bencana air bah. Ketika waktu sudah ditentukan, maka turunlah air sungai Gangga dari surga, seluruh Dewata, Resi-resi langit, Gandharva, Yaksa, dan mahluk siddha lainnya berkumpul untuk menyaksikan pemandangan yang luar biasa ini.
          Sungai suci Gangga mengalir ke bawah dengan derasnya sambil mengelurkan bunyi yang menderu-deru bagaikan halilintar Indra. Kekuatannya membelah angkasa, dan jatuh tepat di gelung kusut rambut Mahadewa. Dari sanalah kemudian air suci Gangga mengalir dan Bhagiratha menuntunnya menuju tempat dimana abu leluhurnya berada.
          Sungai Gangga menyucikan abu itu, dan roh mereka terlihat melayang menuju alam yang lebih baik dari sebelumnya. Bhagiratha dengan kesuciannya telah berhasil memprayascitta leluhurnya dank arena itu, sungai Gangga juga dikenal dengan nama sungai Bhagirathi. Karena menyucikan segalanya, maka Ibu Gangga juga dikenal dengan nama Dewi Pipatgamini, dank arena mengalir dari surga, maka dikenal dengan nama Mandakini.
          Romaharsana menyudahi ceritanya, dan Maharaja Yudhisthira kemudian mulai membungkuk dan mengucapkan banyak terima kasih atas cerita yang diberikan. Tak lama, maharaja Yudhisthira kemudian berkeinginan mengunjungi dan melakukan tirakat di sungai Gangga. Dengan kemurahan hati Romaharsana Maharesi¸ Dharmaraja kemudian mengunjungi tirtha suci itu dengan maksud melakukan tirakat di sana.
          Maharaja Yudhisthira menunduk hormat di hadapan sungai Gangga dan dengan tangan beranjali, maka ia kemudian masuk ke dalam air sungai Gangga dan membenamkan dirinya di sana sambil berdoa. Saudaranya yang lain juga ikut melakukan apa yang dilakukan kakaknya itu.
          Mereka melakukan tirakat di tempat suci di seputaran sungai suci Gangga dengan sangat hidkmat. Sambil merenungi apa yang telah mereka lakukan dan menatap masa depan mereka dengan harapan yang lebih baik lagi. Maharaja  Dharma tidak melakukan tidakan layaknya ksatria saat melakukan itu.
          Ia banyak menyantuni pertapa dan resi-resi yang melakukan Samadhi di tepian gangga. Mereka juga mengunjungi banyak tempat dan kuil-kuil pemujaan untuk Ibu Dewi dan berdoa di sana. Dengan demikian, di saat pangeran Duryodhana sedang asyik-asyiknya bersenang-senang di Hastinapura, Pandava melakukan tirtha-yatra.