Selasa, 09 Agustus 2011

mahabharata (book3) bagian pertama


SETELAH SEBUAH PERMAINAN

          Suasana Hastinapura, kini semakin gundah gulana, sama seperti sebuah padma tanpa air setetespun, dan sama seperti seekor sapi yang tengah kehilangan induk dan kelaparan. Kekacaubalauan yang sangat terjadi sekarang, dan seluruh rakyat hingga pejabat negara yang berhati mulia, berjiwa agung merasakan sebuah kesengsaraan yang maha luarbiasa. Mereka menangis sejadi-jadinya, isak menderu bagaikan samvartaka yang tengah mengamuk dengan hujan lebat, air mata mereka mengalir deras, tak ubahnya anak sungai Gangga yang suci.
          Bhisma Putra Gangga menyadari bahwa apapun yang terjadi sekarang adalah kekeliruan besar yang tak mudah untuk diampuni. Tetapi apa daya, ia bagaikan seekor singa yang tak memiliki taring untuk bicara dan berbuat sesuatu, sebab sumpah kesetiaan akan kerajaan membuat jiwa seagung itu harus terdiam seribu bahasa, manakala ia melihat ketidak adilan ditimpakan pada putra-putra Pandu. Arya Vidura juga merasakan yang sama, sang bijak ahli tata negara itu, hanya dapat menghela nafas panjang yang dalam, hanya berdoa, dan mampu berharap, putra Dhrstarastra berubah untuk menarik kembali ucapannya membuang saudaranya sendiri ke tengah hutan.
          Hati mereka remuk, mata mereka basah karena air mata, tangan dan kaki seolah ikut kaku, dan dada mereka bergetar hebat, laksana disambar petir Bhatara Indra. Tahu akan sebuah kehilangan besar menanti, bahwa mereka akan berpisah pada cucu kesayangan mereka 14 tahun lamanya. Mahaguru Drona, kemudian berkata pada Bhisma Putra Gangga:
          “Oh…Putra Gangga, aku merasa sangat kecewa dengan apa yang terjadi sekarang, dan ini adalah sebuah ketidak berhasilan diriku sebagai seorang guru dalam mendidik murid-muridku…aku menyesal, telah memberikan seluruh kebijaksanaan pada mereka, pada Duryodhana, Duhsasana, sebab seluruh kebijaksanaanku tidak masuk ke dalam hati mereka…apa gunanya aku hidup menjadi seorang guru? Hari ini dunia melihat aku beridiri sebagai sosok guru yang paling malang yang menyedihkan dan celaka”.
          Drona duduk termenung, tangannya menopang dagu tuanya yang penuh dengan janggut putih panjang. Busana putih lambang sebuah kebijaksanaan seorang vipra, terlihat berubah menjadi hitam, lantaran kelakuan muridnya yang durhaka. Berusaha untuk menghibur hati Drona, Mahaguru Krpa, datang dan berkata:
          “Oh.. pandita mulia, kau adalah keturunan Bharadvaja, kesedihan tak pantas bagimu yang perkasa. Jika ada seseorang yang harus dipersalahkan untuk hal ini, maka akulah orangnya. Sebab sebagai seorang Brahmin, aku tidak mampu mencegah keburukan yang hadir di depan mataku, yang aku saksikan langsung..oh  devata…malangnya hatiku…harus berada disini untuk menyaksikan kepedihan.”
          Putra Gangga, hanya diam tanpa berkata apapun. Kata-katanya sudah habis, habis untuk menyesali yang telah terjadi, dan tidak dapat kembali lagi. Dalam pikirannya, andaikata waktu dapat diputar kembali, mungkin, pedang tajam yang ditakuti dunia itu, yang ada di pinggangnya, akan menghentikan tangan busuk Duhsasana yang menelanjangi Draupadi, dan tangan Raja Gandhara yang melempar dadu itu dengan teriakan “menang..menang…!”
(catatan: Brahmin= pendeta yang memiliki kualifikasi rohani. Bharadvaja = seorang resi yang menerima wahyu Tuhan. Vipra = manusia bijaksana )
          Tetua wangsa Kuru itu tengah tenggelam dalam kesedihan yang dalam, tenggelam dalam lautan kesengsaraan batin yang sangat dalam. Ia merindukan seorang terpelajar yang dapat mengangkatnya dari keterpurukan yang sangat dalam itu, berharap demikian, matanya kembali meneteskan air mata, sedih tak terperikan dalamnya, luka menganga yang tersembunyi lama, kini seolah bangkit kembali ketika Bhisma ingat akan teriakan Duryodhana di balai rung istana.
          Sementara itu, di tempat yang terpisah, Yudhisthira, Bhima, Arjuna, Nakula, Sahadeva, beserta Draupadi sudah bersiap mengenakan baju pertapa. Balutan kain kusut dengan rajutan kulit rusa tampak dikenakan oleh mereka, dan itu adalah pakaian para pertapa di hutan. Ya..mereka akan pergi ke hutan, 13 tahun lamanya, dan satu tahun berikutnya harus hidup dalam masa penyamaran tak dikenal orang. Hanya mata dan wajah Yudhisthira seorang yang menampakkan sebuah ketenangan, selebihnya mata mereka merah padam, menahan amarah, namun tak kuasa, karena masih menghormati kakak tertua mereka.
          Jika saja saat permainan dadu itu berlangsung, Bhima mengamuk dan membantai Karna, Duryodhana, Duhsasana, Sakuni, mereka tidak akan di buang ke hutan. Tetapi tangan perkasa Bhima, masih tertahan lantaran kakak Yudhisthira tidak memberikan izin untuk hal demikian. Putra Bhatara Pavana itu, yang diberkati kekuatan seribu ekor gajah, sudah gatal menghatam kepala Duryodhana, ia menunggu saat yang tepat dimana ia akan melangsungkan sumpahnya, untuk mematahkan pupu Duryodhana, dan merobek dada Duhsasana. Hanya manusia dungu, yang berani menantang Bhima dalam pertarungan, sebab manusia yang bernama Bhima,  adalah tak tertandingi, perkasa, dan ia disegani Naga di Patala.

(catatan: Patala= alam para naga (Naga Loka). Bhatara Pavana = Dewa angin)
          Bhima berkata pada kakaknya:
          “Aduh…kakak, jika kita pergi sekarang, bagaimana dengan ibu? Ia berpesan, bahwa akan ikut bersama kita tinggal di hutan, dan itu adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Aku tahu betul bagaimana ibu, dan tak mungkin bagi ibu, untuk bertahan di hutan yang penuh bahaya dan binatang buas…”
          Kunti tampak mengenakan pakaian kulit rusa layaknya seorang pertapa, dan ia berniat mengikuti kemanakah anak-anaknya akan pergi. Melihat keadaan demikian, Yudhisthira mulai angkat bicara:
          “Oh Ibu..dengan segala hormat kami, hendaknya ibu tidak perlu ikut serta ke hutan bersama kami. Kehidupan di sana tentu akan berbahaya, apalagi usia ibu dan kesehatan ibu tidak memungkinkan untuk hal itu. Sebaiknya ibu tetap tinggal di istana ini, Ibu hanya itu permohonan kami yang terakhir..”
          Menjura dengan beranjali demikian, Yudhisthira menaruh harapan besar pada pamannya, Arya Vidura. Dengan sigap, ahli tata negara itu paham akan keinginan keponakannya, dan Arya Vidura, kemudian ia berkata:
          “benar apa yang dikatakan anakmu Kunti. Sebaiknya engkau tetap tinggal di istana ini, sebab hutan bukan tempat yang ramah untuk wanita tua sepertimu..”
          “Tidak..tidak mungkin, aku tidak akan dapat tinggal ditempat dimana menantuku ditelanjangi dengan tanpa rasa hormat..aku menghargai kecemasan kalian, tetapi jika aku harus tinggal di istana ini, maka itu mustahil. Sebab udara di sini sudah tercemar oleh racun penghinaan…” demikian jawab Kunti, dan Vidura kembali berkata:
          “baiklah jika demikian, kau dapat tinggal di rumahku, bukan di istana ini. dengan demikian anakmu akan tenang dan merasa nyaman meninggalkan engkau sendiri. Bagaimana jika demikian..?”
          “Jika memang harus demikian, maka aku akan mengikutinya. Tetapi, sebelum itu, maka biarkan aku menitip pesan untuk anaku sekarang”. Kunti kemudian mendekati ke lima putranya, dan seluruh putranya menunduk menyentuh kaki ibunya memohon doa restu untuk pergi ke hutan. Kunti berpesan pada Arjuna dan Bhima.
          “Oh..putraku, jagalah baik-baik adikmu, Nakula dan Sahadeva. Mereka adalah mata dan hatiku, jangan biarkan bahaya dan penderitaan menyentuh mereka, dan jangan sekali-kali kalian melanggar apapun yang menjadi perintah kakak tertua kalian, ia adalah panutan dan adalah lambang kebijaksanaan, maka dengarkan nasihatnya, patuhilah ajarannya..berangkat anakku, semoga kejayaan ada dalam diri kalian…”
          Tangannya kemudian terangkat dengan abhaya mudra, memberikan restu pada putranya sekalian. Astu, semoga tidak ada halangan, Pandava diiringi Draupadi, kemudian berangkat ke hutan. Perjalanan mereka ditemani isak tangis rakyat Hastinapura, mendung tebal kini menyelimuti hati mereka semua, sama seperti samvartaka yang hadir kala pralaya tiba, hancur lebur tak terperikan rasanya. Jika bongkahan batu dapat bicara dan merasakan, mungkin mereka juga akan pecah berkeping-keping tak tahan menahan beban sedih yang sangat pedih dari sebuah kehilangan pijar pelipur hati yang lara.
          Lambang sebuah kebijaksanaan sekarang berjalan menuju hutan, sebuah tempat yang penuh dengan bahaya dan maut. Hastinapura tanpa mereka sama saja dengan hutan, dan hutan dengan kehadiran  mereka adalah Hastinapura sendiri. Tetua dan sesepuh Kuru menagis dalam batin, dan dada mereka berat bagaikan menahan beban ribuan derita. Hanya seorang yang tertawa kala itu, hanya seorang, ia adalah Sakuni, sang raja Gandhara itu merasa sangat puas dengan hasil kerjanya di meja dadu.
          Sukses besar meluluh lantakkan moralitas, raja dengan hati busuk itu kemudian menghampiri keponakan tersayangnya, Duryodhana, dan ia berkata:
          “Sekarang..seekor singa sudah bertahta seorang diri di hutan..haa.haa.haa.haa.haa..tak ada lagi halangan keponakanku, tidak ada lagi rintangan, dan Hastinapura juga Indraprastha adalah milikmu, kau dapat mengaturnya laksana Bhatara Indra di langit sana..ha.haaa.haaa”
          Dengan senyuman liciknya, ia kembali menyemangati hati keponakannya yang tengah berbahagia karena kemenangan dalam judi itu.:
          “Oh…keponakanku…tak usah cemas dan khawatir, gada Bhima dan panah-panah Arjuna sekarang tak berguna lagi, tak berdaya di depan serdadu pamanmu ini, ha.ha.haaa.haaa…Mahadeva telah berpihap pada kita sekarang, haaa.haaa..haa…”
          Radheya, mendekati Sakuni yang tertawa bagaikan keledai dungu itu, raja Anga Desa ini kemudian mulai berdiplomasi:
          “Paman..dapat saja kau berkata itu sekarang, tetapi ingatlah, setelah 13 tahun dan tahun ke-14 yang tak dikenali, mereka akan kembali dengan kekuatan mereka dan menggempur Hastinapura. Bahkan yang terburuk akan terjadi bahwa kita akan kalah karena merasa menang, dan itu membuat kita lengah. Kelengahan adalah sebuah musuh dalam diri seorang Ksatria, jadi jangan sekali-kali kau memudarkan kesiagaan kami dengan ocehanmu yang tidak berguna itu”
          Radheya memalingkan wajahnya. Ia berharap banyak akan sebuah pertempuran yang akan terjadi nanti. Sebab di sana, ia akan bertarung dengan Arjuna, dan menunjukkan pada dunia, bahwa pemanah terhebat bukanlah murid Drona Acarya itu, tetapi putra kusir kereta Adiratha¸yang hina ini.

Catatan : Adiratha =ayah angat Karna (Radheya). Samvartaka = awan badai yang mendatangkan petir. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar