Kamis, 11 Agustus 2011

tirtha-yatra Parva: Book 3 Vana Parva: The Mahabharata


TIRTHA-YATRA PARVA

          Bab ini mengisahkan bagaimana ketika Arjuna yang tengah melakukan tugasnya di Surga Loka, berbarengan dengan kedatangan seorang maharesi Romaharsana kepondok Pandava. Pendeta terkemuka ini adalah ahli Purana, dan merupakan murid dari Bhagavan Krsna Dvaipayana Vyasa sendiri. Beliaulah yang hari ini mengunjungi Pandava tepat ketika Arjuna tengah berada di Surga. Dengan disambut sangat mulia, sang pertapa ini kemudian memberikan wejangan tentang bagaimana pentingnya sebuah tirtha yatra.
          “Anakku, jika dalam sebuah lingkaran, jari-jarinya adalah sebuah tindakan tanpa hasrat, dan titik tengah dari itu semua adalah perjalanan suci mengunjungi banyak tirtha. Ini menjadikan manusia disucikan secara sadar atau tidak, dan membuat mereka memiliki sebuah kualifikasi kesucian tingkat tinggi untuk mengerti hakikat kebenaran”.
          “Maksud pendeta?”
          “Untuk alasan yang sama jugalah, ada banyak pencari kesempurnaan harus mengembara dari satu tempat ke tempat yang lainnya untuk menginsyafi hal tersebut. Ada banyak raja-raja dan pemimpin besar dunia sebelum anakku, melakukan perjalanan suci dan menemukan visi suci di tempat mereka melakukan sebuah tirakat”.
          Baru demikian, kata Romaharsana Maharesi, Bhima langsung sadar dengan pentingnya sebuah perjalanan suci. Visi suci dan kesempurnaan juga dapat diambil dalam kapasitas yang sama dengan melakukan tirtha yatra. Alasan mengapa sang pendeta agung berpesan mulia demikian, adalah karena di Surga, Arjuna telah menjura dan memohon kepada sang resi agar turun dan menasehati kakak sulungnya dan saudaranya yang lain untuk melakukan tirtha yatra.
          Selain itu, nasehat yang juga disampaikan adalah mereka setidaknya melakukan punia agar apapun yang terjadi, dapat melatih diri menerima secara ikhlas dan memberi secara ikhlas pula. Kedermawanan akan membawa manusia pada keagungan dan nama baik, secara sadar ini adalah pasti.
          Tetapi keagungan tersebut terkadang ternoda karena sebuah punia yang tidak didasari atas pencarian hakikat kebenaran, hanya pamer kekuasaan dan kekayaan. Pandava  yang tengah berada di hutan, tentu tidak banyak memiliki harta kekayaan sebanyak pangeran Duryodhana di Hastinapura.
          Meskipun demikian, jalan untuk melakukan punia sangat banyak dan beragam. Melayani Brahmin dan pertapa yang ada di hutan dan menjaga mereka dengan suasana aman adalah salah satu bentuk yang dapat mereka lakukan saat ini.
          Mendapatkan nasehat demikian, mereka kemudian melakukan apapun yang diperintahkan sang resi. Masuk dalam wilayah pasraman satu ke yang lainnya dan menemukan ada banyak pertapa yang harus mereka layani dengan baik. maharaja Dharma melakukan itu dengan sangat tulus ikhlas, dan memang secara kualifikasi, rohani dan ketajaman spiritual Yudhisthira melebihi saudaranya yang lainnya, bahkan dinyatakan karena menjunjung dharma yang sangat tinggi, maharaja Yudhisthira hampir melayang beberapa inchi di atas tanah karena kesuciannya.
          Kesucian ini juga yang menjadi kekaguman banyak pertapa dan manusia bijak lainnya. Romaharsana kemudian berkata kepada maharaja Dharma :
          “Oh yang terpelajar dari segala raja, engkau memiliki kebijaksanaan yang menjadi dasar kemuliaanmu di dunia. Maharaja, dengarkanlah aku, peliharalah kemuliaanmu itu dalam bhakti yang dalam, sebab kesucian batinmu akan membawa keagungan pada nama dan juga keturunanmu kelak”
          Semua mendengarkan apa yang dinyatakan oleh sang resi. Kemudian pertapa ahli Purana itu kemudian kembali berkata :
          “Oh rajan, kesucian dan ketabahan hati dalam melakukan bhakti, dapat mencapai sebuah kejayaan, kejayaan yang sama dengan yang yang didapatkan oleh Bhagiratha ketika hendak menurunkan Ibu Gangga dari surga ke Bumi. Dengar dan cermatilah ceritaku sekarang.”
          Dahulu, ketika Satya Yuga mulai memperlihatkan paruh waktunya di Bumi, seluruh mahluk yang saleh memiliki kualifikasi yang setara dengan para Dewa. Bumi menjadi sebuah tempat yang sangat damai untuk dihuni, dan pemerintahan waktu itu dipimpin oleh Maharaja Sagara. Beliau adalah raja yang saleh dan perkasa, ada banyak punia yang beliau dapatkan dari tindakan terpujinya itu.
          Suatu ketika, Maharaja Sagara berkeinginan untuk melakukan upacara Aswamedha yaga,dimana seekor kuda putih menjadi sarana utama dalam perhelatan akbar itu. Konsekwensinya adalah, ketika seseorang melakukan upacara Aswamedha, maka dapat dinyatakan wilayah Bumi yang lain akan tunduk dan menjadi bawahan maharaja Sagara.
          Ini dapat diterima sebagai sebuah tindakan benar, mengingat maharaja adalah pemimpin yang saleh. Tetapi putranya tidak demikian. Maharaja memiliki dua orang permaisuri bernama Dewi Sumati dan juga Dewi Kesini, mereka melahirkan putra sebanyak 60.000 orang banyaknya, dan salah satunya yang terkemuka adalah Asamanjasa. 60.000 putra maharaja memiliki tabiat yang buruk, tidak gemar membaca Veda, tidak senang berupacara, senantiasa menentang banyak Brahmin dan membakar banyak pertapaan di hutan. Mereka membuat para Dewa dan pengikut Veda menjadi sangat gusar.
          Jika upacara Asvamedha itu berjalan dengan baik, maka sudah dapat dipastikan bahwa 60.000 putra maharaja akan menyalahgunakan kekuasaan mereka dan bumi dapat saja menjadi planet yang mengerikan untuk dihuni. Oleh sebab itu, para Dewa menyusun sebuah rencana, kemudian Bhatara Indra mengambil kuda aswamedha itu secara gaib dan memindahkannya ke patala, tepat dimana pasraman Kapila Muni berada, disanalah kuda itu diikat untuk sementara waktu.
          Sang Muni yang tengah tenggelam dalam meditasi yang dalam, tetap diam dan terpejam dengan kejadian itu. Tetapi seluruh putra maharaja Sagara menjadi panik karena hilangnya kuda persembahan. Akhirnya mereka mencari kesetiap pelosok dan tempat yang di perkirakan kuda tersebut berlari. Asamanjasa juga ikut mencari kuda tersebut hingga kelangit dan patala.
          Tibalah mereka di sebuah pasraman milik Resi Kapila, dan terlihatlah di sana kuda mereka terikat tepat di bawah pohon di mana sang resi tengah bertapa. Murkalah seluruh putra maharaja Sagara ke 60.000 orang itu dan tanpa bertanya terlebih dahulu, mereka menuduh sang resi mencuri kuda mereka. Dengan tindakan bodohnya itu, mereka berencana untuk menyerang sang resi dengan serempak dan membunuhnya seketika.
          60.000 orang maju dengan senjata ditangan hendak menyerang pendeta yang tengah bertapa itu. Ketika mereka berlari hendak menerjang, mata Kapila Muni terbuka dan dari sana keluarlah api yang berkobar hebat kemudian membakar 60.000 orang itu hingga menjadi abu. Melihat saudaranya sudah menjadi abu, maka menangislah Asamanjasa dan menjura di hadapan maharesi Kapila.
          Ia memohon ampun atas segala kesalahan saudaranya dan meminta belas kasihan agar roh saudaranya mendapatkan tempat yang lebih layak. Akan tetapi sang resi tidak dapat memberikan jaminan itu, sebab dosa yang dilakukan ke 60.000 orang itu sangat berat, hanya air suci Gangga yang dapat memprayascitta mereka agar mereka dapat naik ke alam yang lebih sempurna.
          Diberikan petunjuk demikian, maka Asamanjasa melakukan tapa hebat untuk menyenangkan hati Ibu Gangga. Sampai akhir hayatnya, Asamanjasa tidak berhasil menurunkan sungai suci Gangga. Putra Asamanjasa bernama Amsumanna, dan mendapati keadaan leluhurnya yang sengsara demikian dari penasehat kerajaan. Hati kecilnya tergerak dan berusaha untuk menurunkan Ibu Gangga dengan melakukan tapa, maka bertapalah Amsumanna.
          Tetapi sampai akhir hayatnya, Amsumanna juga tidak berhasil menurunkan sungai suci Gangga. Ia memiliki putra bernama Maharaja Dilipa, dan maharaja Dilipa juga melakukan hal yang sama, ia bertapa hanya untuk menurunkan sungai suci Gangga. Demikian pula yang terjadi, sampai akhir hayatnya, ia tidak berhasil menurunkan sungai suci Gangga.
          Maharaja Dilipa memiliki putra bernama Maharaja Bhagiratha, dan Bhagiratha juga melakukan tapa yang sangat hebat untuk menurunkan sungai Gangga. Dengan demikian, ia mulai berdiri dengan satu kaki dan menengadah ke langit, sambil mengucapkan pranawa Omkara. Ia terus memandang matahari dengan posisi yang tidak menyenangkan itu.
          Kemudian ia bertapa dengan duduk dan mengatur nafasnya di tengah badai salju yang dingin dan menusuk tulang. Bhagiratha tetap bertahan untuk menyenangkan hati Ibu Gangga. Kemudian ia mulai tidak makan dan untuk bertahan hidup ia hanya meminum air putih saja, sambil melakukan tapa dengan posisi padmasana.
          Bertahun-tahun lamanya ia melakukan tapa hebat demikian, maka berkenanlah hati Ibu Gangga dan Beliau menampakkan diri di depan Bhagiratha. Maharaja kemudian mengutarakan niat kerasnya untuk memprayascitta abu leluhurnya dulu dengan air suci Gangga, dan Ibu Gangga berkenan padanya.
          Tetapi, permasalahan yang muncul adalah jika Ibu Gangga turun dari surga ke Bumi, maka Bumi akan mengalami gempa yang sangat hebat dan air bah terjadi, ini sangat membahayakan seluruh mahluk di bumi. Sebab dalam Tri Bhuana ini, tidak ada yang dapat menahan derasnya aliran kekuatan sungai suci Gangga, kecuali paduka Bhatara Siva.
          Dengan demikian, Ibu Gangga memerintahkan Bhagiratha untuk mulai bertapa dan berdoa menyenangkan hati Bhatara Siva. Tanpa banyak mengulur waktu, Bhagiratha kembali melakukan tapa untuk menyenangkan hati Bhatara Siva. Ia berdiri dengan satu kaki dengan tangan tercakup ke atas kepala, lalu matanya memandang langit. Ia berdoa tanpa henti, dan musim dingin atau panaspun, tak dapat mempengaruhinya.
          Akhirnya berkenanlah hati Bhatara Siva dan Beliau juga berjanji untuk menahan derasnya laran sungai Gangga agar bumi ini tidak mengalami bencana air bah. Ketika waktu sudah ditentukan, maka turunlah air sungai Gangga dari surga, seluruh Dewata, Resi-resi langit, Gandharva, Yaksa, dan mahluk siddha lainnya berkumpul untuk menyaksikan pemandangan yang luar biasa ini.
          Sungai suci Gangga mengalir ke bawah dengan derasnya sambil mengelurkan bunyi yang menderu-deru bagaikan halilintar Indra. Kekuatannya membelah angkasa, dan jatuh tepat di gelung kusut rambut Mahadewa. Dari sanalah kemudian air suci Gangga mengalir dan Bhagiratha menuntunnya menuju tempat dimana abu leluhurnya berada.
          Sungai Gangga menyucikan abu itu, dan roh mereka terlihat melayang menuju alam yang lebih baik dari sebelumnya. Bhagiratha dengan kesuciannya telah berhasil memprayascitta leluhurnya dank arena itu, sungai Gangga juga dikenal dengan nama sungai Bhagirathi. Karena menyucikan segalanya, maka Ibu Gangga juga dikenal dengan nama Dewi Pipatgamini, dank arena mengalir dari surga, maka dikenal dengan nama Mandakini.
          Romaharsana menyudahi ceritanya, dan Maharaja Yudhisthira kemudian mulai membungkuk dan mengucapkan banyak terima kasih atas cerita yang diberikan. Tak lama, maharaja Yudhisthira kemudian berkeinginan mengunjungi dan melakukan tirakat di sungai Gangga. Dengan kemurahan hati Romaharsana Maharesi¸ Dharmaraja kemudian mengunjungi tirtha suci itu dengan maksud melakukan tirakat di sana.
          Maharaja Yudhisthira menunduk hormat di hadapan sungai Gangga dan dengan tangan beranjali, maka ia kemudian masuk ke dalam air sungai Gangga dan membenamkan dirinya di sana sambil berdoa. Saudaranya yang lain juga ikut melakukan apa yang dilakukan kakaknya itu.
          Mereka melakukan tirakat di tempat suci di seputaran sungai suci Gangga dengan sangat hidkmat. Sambil merenungi apa yang telah mereka lakukan dan menatap masa depan mereka dengan harapan yang lebih baik lagi. Maharaja  Dharma tidak melakukan tidakan layaknya ksatria saat melakukan itu.
          Ia banyak menyantuni pertapa dan resi-resi yang melakukan Samadhi di tepian gangga. Mereka juga mengunjungi banyak tempat dan kuil-kuil pemujaan untuk Ibu Dewi dan berdoa di sana. Dengan demikian, di saat pangeran Duryodhana sedang asyik-asyiknya bersenang-senang di Hastinapura, Pandava melakukan tirtha-yatra.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar