Kamis, 19 April 2012

PERCAYA CINTA PERCAYA KEAJAIBAN 


 ini adalah sebuah ungkapan bak mutiara yang didengungkan oleh seorang penutur kejernihan bernama Gede Prama. dia adalah seorang mistikus seni dalam hal kehidupan, dan karena itulah, aku meyakininya sebagai sebuah kebenaran. tidak banyak anak muda yang mau merenungi hal itu sebagai sebuah kebenaran dalam diri yang hakiki. aku sendiri pernah melontarkan itu pada seseorang, dan dia menanggapinya dengan nada sinis. namun, itulah aku, meskipun berseberangan ide, namun jika aku berfikir bahwa aku akan membawa pemahamanku pada dia, sejauh aku bisa, maka aku lakukan. terserah dia, apakah mau menerima atau tidak. sebab cinta bagiku, adalah sebuah hal yang bahkan Sang Hyang Nilakantha sendiripun tidak dapat menolaknya. jika para dewa saja sudah demikian kuat akan cinta, mungkinkah manusia dapat meninggalkannya?

malangnya, cinta sekarang harus dibuktikan dengan bersetubuh diluar nikah. hatiku remuk redam dan dadaku terbakar habis, aku seperti kehilangan nyawa ketika aku mendapati hal itu sebagai sebuah kebenaran yang aku lihat dan nyata bagi kehidupanku. tidak adakah cinta yang dinyatakan cinta, jika kasih sayang kehilangan makna. bersetubuh diluar nikah, bukan pembuktian cinta, juga memaksa kehendak untuk merubah penampilan, bukan sebuah cinta. pernahkah Sita memerintahkan Rama untuk tidak menggunakan kain usang dan pergi menolak untuk pergi ke hutan. bagaimanapun usangnya pakaian Rama, Sita tidak pernah pusing. demikian juga Ibu Sati, apakah luntur kasihnya hanya karena Sang Hyang NIlakantha berkulit gelap dan berlumuran debu? Tidak. aku merindukan kala kekasihku menerima aku apa adanya. hanya itu, tidak lebih.

Jumat, 02 Desember 2011


SIAT PETENG: MENAIKKAN KRIDIBILITAS


Oleh : Gede Agus Budi Adnyana,S.Pd.B.,M.Pd.H

            Adalah sebuah hinaan dan tantangan sekaligus untuk menunjukkan prestise dikalangan dunia kawisesan dalam terminology  dunia leak di bali, jika menang dalam sebuah pertempuran yang sengit. Pertempuran inilah yang mendongkrak nama dan juga prestise seseorang penekun ilmu kawisesan di Bali dalam banyak hal. Dalam konteks itulah, mengapa pertempuran leak ini bukan semata-mata karena sebuah dendam kesumat saja, melainkan untuk meningkatkan status dan juga untuk meningkatkan kelas dan menguji, sejauh mana tingkatan dan tataran ilmu yang sudah di capai oleh si empunya.
            Pertempuran ini pun sering melibatkan banyak orang atau pun dilakukan seorang diri. Belajar dari sejarah masa lalu, bahwa peperangan adu kawisesan ini sering dilakukan lantaran sebuah ujian yang dilakukan seorang guru kepada muridnya atau dari satu garis perguruan ke perguruan yang lainnya. Ilmu leak ini, dalam tradisi Bali, juga memiliki geneologi garis perguruan yang diwariskan secara murni, dan dalam proses belajar yang tersitematis. Ontology, Aksiologi dan Epistemologi dalam proses ilmu leak sendiri, diturunkan dengan sangat jelas.
            Oleh sebab itulah, mengapa geneologi gari perguruan leak ini, memiliki semacam struktur yang sangat ketat dan juga istematika ilmu yang sangat kompleks. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan, jika seseorang murid dari salah satu geneologi garis perguruan leak ini, memiliki masalah dengan murid dari garis perguruan yang lain, maka ia dapat meminta bantuan kepada kakak seperguruannya. Bahkan bantuan pun dapat saja datang dari sang guru.
            Disinilah kita dapat menemukan ada banyak siat peteng dengan berbagai macam latar belakang masalah. Siat peteng sendiri bagi masyarakat Bali, bukan barang baru lagi, atau paling tidak bukan sebuah hal yang harus ditutupi keberadaannya. Masalahnya adalah, meskipun keberadaan siat peteng ini ada dalam wilayah yang diketahui banyak orang, tidak semua orang dapat dengan mudah memberitahukan siapa-siapa saja dan tempat mana siat peteng itu dilakukan.
            Kita perlu bertanya dengan sangat pelan-pelan dan sedikit halus untuk mencari sebuah informasi yang berkaitan dengan siat peteng ini. Taksu sendiri, sempat mencari beberapa informan yang dianggap mumpuni untuk urusan yang satu ini, namun dari tujuh informan yang ada, hanya seorang yang berani bercerita bagaimana kronologi siat peteng itu, meskipun nama orang yang terlibat di sana tidak disebutkan dengan sangat jelas. Penulis sendiri menyadari akan hal tersebut, sebab ada banyak pantangan, larangan dan juga hal-hal yang bersifat niskala, yang memang tidak dapat disebutkan secara mudah.
            Sebut saja namanya Nyoman Adi yang secara tidak sengaja berbicara kepada seorang guru penekun ilmu kawisesan. Kalimat yang keluar adalah sebagai berikut:
            “Aduh..titiang jeg ten uning ring napi sane kamargiang ring aratu..?” Aduh..saya sama sekali tidak mengetahui apa sebenarnya yang menjadi pelajaran dari anda..?”. demikian adalah sebuah pertanyaan yang sejatinya hanya ingin memuji, sebab merasa diri tidak tahu, tetapi kalimat itu ditanggapi lain oleh Jero Made yang merupakan seorang penekun ilmu magis Bali. Ia mengira bahwa pak Nyoman ingin menantangnya dan meremehkan ilmu yang ia miliki. Maka serta mereta ia berkata:
            Nah..yen do nawang, nyanan di penelahan Galungane, antiang tiang di sisin pasihe..!!”. Nah..jika kamu ingin mengetahui, maka tunggulah saya di tepian pantai saat hari Budha Kliwon Pegat Uwakan..”. jika demikian keadaannya, maka ini merupakan sebuah arena dimana seseorang akan menunjukkan kesaktiannya. Kebetulan juga Nyoman Adi merupakan seorang yang baru-baru menekuni ilmu kawisesan, dan terbilang muda. Dengan demikian darah tempurnya pun mendidih. Dengan segera ia mohon pamit dan mengadu pada seluruh kakak perguruannya.
            Tepat ketika hari yang sudah ditentukan, maka hadirlah sekarang beberapa orang yang berkumpul di tepian pantai. Namun mereka sejatinya adalah sukmanya saja, sedangkan badan kasarnya tidur dirumah dengan nyaman. Sukma itupun kemudian terbang dan menjadi berbagai macam bentuk-bentuk aneh yang menyeramkan. Sebagian besar dari mereka, berubah menjadi api yang berpijar dan menyala-nyala kemudian terbang melayang lalu meledak entah kenapa.
            Kemudian yang lain lagi berubah menjadi burung gagak dengan kecepatan terbang yang sama sekali tidak masuk diakal. Sebagian lagi berubah menjadi kain rurub yang panjang lalu terbang, kemudian ada yang berubah menjadi anjing kurus dan yang lain lagi berubah menjadi  ular terbang. Mereka melakukan pertempuran di sana, namun entah apa yang terjadi, si informan ini enggan untuk kembali menuturkan peritiwa yang sangat membuat penulis penasaran.
            Sadar bahwa hal tersebut adalah hal yang tidak boleh dibicarakan, maka penulis pun menghentikan pertanyaan yang bersifat menekan. Kesimpulan yang berhasil di dapatkan adalah bahwa siat peteng merupakan sebuah unjuk kebolehan dari berbagai macam manusia yang memiliki ilmu kebatinan tingkat tinggi. Sebab dari penuturan  informan yang sama, seseorang yang tidak memiliki sebuah benteng ilmu yang kuat atau tergabung dalam geneologi gari perguruan manapun, akan merasa sangat enggan untuk melakukan unjuk kebolehan demikian. Sebab resikonya sangat besar sekali.
            Bukan berarti manusia Bali adalah manusia yang gemar mencari musuh. Siat peteng ini jika kita telaah kembali ke dalam, maka lebih pada sebuah pendakian sisi gaib manusia Bali, yang mengedepankan keperwiraan dan juga jiwa-jiwa pantang mundur dalam situasi apapun. Inilah yang memelihara Bali, sehingga terlihat sebagai sebuah pulau yang madurgama. (Taksu/ Gede Agus Budi Adnyana)




Senin, 26 September 2011

TAWANAN GANDHARVA

oleh: Gede Agus Budi Adnyana,S.Pd.B.,M.Pd.H

          Mereka kini sudah ada di hutan dimana Pandava bermukim, namun dengan jarak yang tak terlalu jauh ataupun tidak terlalu dekat. Mereka mendirikan tenda di sana, dan berpesta pora dengan gegap gempitanya seakan-akan mereka bernyanyi di tengah kemelaratan saudaranya sendiri. Bhima menyaksikan pemandangan yang tak menyenangkan hatinya itu, kemudian ia masuk ke dalam pondoknya dan membanting kayu bakar yang ia cari tadi di tengah hutan:
          “Kurang ajar… mereka mendirikan tenda di sana dan berusaha mengolok-ngolok aku yang tengah menderita…jika aku tak melihat kakak tertuaku, sudah aku patahkan pupunya di sana…”
          Yudhisthira kemudian berkata pada adiknya yang temperamental itu:
          “oh adikku..apakah kau iri dengan mereka..?”
          “Untuk apa aku iri kakak, jika aku mau akupun dapat dengan leluasan seperti mereka, yang aku tak habis pikir adalah mengapa mereka membuat tenda di sini… aku yakin ada banyak rencana gila dari paman Sakuni yang dungu itu..”
          “Mengapa kau bicara kasar dan menghina pamanmu sendiri Bhima..? bagaimanapun juga mereka adalah saudaramu dan pamanmu”
          ‘Paman..Oh ya paman..ialah seorang paman yang telah merenggut hak keponakannya, ialah paman yang baik budinya dengan mengirimkan keponakannya yang tersayang untuk masuk hutan, dengan harapan akan tewas di terkam binatang buas. Dialah paman, yang kakak agungkan sebagai seorang pelempar dadu kelas wahid yang berteriak “menang..menang…” dan berusaha menodai kesucian Draupadi di Hastinapura..Oh kakaku, jika kau masih sayang pada adikmu ini, maka sekarang jawablah pertanyaanku. Apakah tindakan mereka itu pantas di pandang sebagai saudara?”
          “Adikku..dengarkanlah olehmu, tindakan dungu dan bodoh adalah mengikuti kejahatan orang yang menjahati kita. Jika kita ikut membalas sebuah kejahatan itu dengan kejahatan, maka kita tak ubahnya seperti api yang bertemu minyak. Padamkan api itu adikku, siramilah dirimu dengan air kesabaran. Aduklah penghinaan mereka dan ambillah sarinya untuk masa yang akan datang…”
          “Kakak, masalah kebijaksanaan kau adalah rajanya, aku tak dapat menandingimu dalam masalah bersabar. Racun penghinaan ini terlalu besar buatku, bahkan jika aku letakkan di atas bukit, maka bukit itupun akan hancur. Sebenarnya karena masih menghormatimulah, aku tidak menghantamkan gadaku pada kepala Duryodhana yang gila itu. Maafkan aku kakak atas kemarahanku”
          Setelah berkata itu, Bhima pergi dari hadapan Yudhisthira. Ia menyendiri di belakang pondok dan menatap langit. Dunia mengenalnya sebagai Vrkaudara, apapun yang datang pasti dilahapnya, dan ia termasyur karena keperkasaan gadanya. Kini ksatria agung itu harus menahan marah yang luar biasa, tak dapat melakukan pukulan dan tendangan walapun hanya sekali, karena masih melihat dan mendengarkan kebijaksanaan dari kakak tertuanya, Yudhisthira.
          Sementara itu, Duryodhana yang tengah mabuk karena minuman keras pergi berkeliling hutan. Ia melihat ada banyak pohon besar yang ditutupi semak-semak, dan ia berdiri di sana, karena masih berada dalam pengaruh minuman keras, ia tak dapat mengontrol dirinya sendiri. Tiba-tiba saja, ia melihat seorang gadis yang berjalan seorang diri di hutan. Kain yang dikenakan gadis itu sangat tipis, dan lekukan badannya yang mempesona menggairahkan hasrat Duryodhana.
          Gadis itu melenggang kangkung di depan  pangeran yang dungu itu, dan dengan segera pangeran mendekatinya. Kemudian ia berkata:
          “Oh… Gadis ku, siapakah dirimu..? apakah kau mau menemaniku malam ini di sini, ayo puaskan aku dengan pelayananmu, aku membutuhkanmu sekarang…”
          Tangan pangeran itu segera bergerak aktif mencengkram lengan gadis yang ternyata adalah putrid suku gandharva. Ia meronta dan berusaha lepas dari cengkraman Duryodhana, kemudian karena kelihaiannya dan lagi pula Duryodhana  masih beradadalam pengaruh minuman keras, dengan mudahnya ia dapat meloloskan diri dari cengkraman Duryodhana.
          Gadis itu adalah seorang putri Gandharva, yang memiliki bala tentara perkasa di hutan Kamyaka. Ia menangis di hadapan seluruh golongan Gandharva yang ada dan menceritakan bagaimana dirinya dihina layaknya seorang wanita jalang oleh pangeran Duryodhana. Merasa harga dirinya diinjak-injak, suku Gandharva itu bangkit dengan senjata lengkap di tangan mereka, berkeinginan menggempur pangeran Hastinapura yang tengah berkemah di sana.
          Sementara itu, Diryodhana, Karna, Duhsasana tengah asik tenggelam dalam nyanyian dan tarian yang dibuai oleh nikmatnya minuman keras. Mereka tak sadar bahwa bahaya yang besar sebentar lagi akan datang, dan membuat harga diri mereka jatuh. Dalam keadaan mabuk berat, tanpa di duga-duga puluhan anak panah mengepung mereka, dan Duryodhana tak dapat berbuat apapun selain menyerah kalah. Karna sempat melarikan diri sebisa mungkin untuk mengumpulkan kesadarannya.
          Ia membasuh mukanya, dan berusaha bangkit dari buaian minuman keras. Sekuat tenaga menyadarkan dirinya dan dengan segera ia mengatur nafasnya agar kondisinya kembali stabil. Tetapi sahabatnya, Duryodhana sudah diikat oleh suku Gandharva, layaknya tawanan perang dalam sebuah medan pertempuran. Prajurit setia Duryodhana yang sadar akan situasi yang tidak menguntungkan itu, segera pergi untuk meminta perlindungan. Tidak tahu apa yang harus diperbuat, panik dan ketakutan akan bahaya, ia masuk ke dalam pondok  Yudhisthira dan segera menjura dihadapan Dharmaraja:
          “Oh…yang dipanggil maha bijaksana oleh seluruh raja, ampuni hamba yang lancang masuk tanpa ijin paduka. Dengarkanlah keluhan hamba, pangeran Duryodhana tengah ditawan oleh suku Gandharva. Oh…lambang kebenaran, hamba mohon padamu, selamatkanlah pangeran dari cengkraman musuh, jika tidak Hastinapura akan kehilangan..”
          Mendengar berita yang genting demikian, Yudhithira bangkit dari samadhinya, dan memanggil Bhima serta Arjuna:
          “Wahai adikku..engkau dengar apa yang telah menimpa saudara kita? Janganlah berdiam diri, ambil gadamu dan ambil busur panahmu, selamatkan saudara kita dari suku Gandharva itu?”
          “Maafkan aku kakak. Kita tak pernah memiliki permusuhan dengan suku Gandharva, lalu mengapa kami harus bertempur melawan mereka?”
          “Karena mereka telah berani menawan saudara kita, dan mereka telah menawan pangeran Hastinapura diperbatasan negara. Alangkah berani tindakan mereka, ayolah Bhima, selamatkan saudaramu..?”
          “Oh..kakakku, apakah akal sehatmu sudah hilang? Aku harus mengumpulkan kayu kering untuk perapian, dan rumput kering untuk alas tidur, ini semua karena keserakahan Duryodhana, dan sekarang aku harus datang menyelamatkan nyawa si dungu itu? Tidak kakak, tidak, aku tidak mau melakukannya.” Kata Bhima dengan nada yang sangat panas.
          “Aku tak menyangka, bahwa kalian memiliki sebuah perasaan yang buruk pada saudara kalian. Bagaimanapun ia, ia tetap saudara kita. Jika kau tidak mau menyelamatkan Duryodhana, maka biarlah aku saja yang berangkat ke sana”. Kata Yudhisthira sambil mengambil tombaknya.
          Melihat kakak sulungnya demikian keras, maka lunaklah hati Arjuna dan Bhima, mereka bergegas mencari suku Gandharva yang tengah menawan Duryodhana. Di sana mereka melihat Duryodhana, sang pangeran Hastinapura terikat dengan rantai yang kukuh. Ia sangat memalukan dengan posisi yang demikian. Melihat kedatangan Bhima dan Arjuna, suku Gandharva itu menjadi sangat segan, dan mereka menyambut Bhima dengan sangat ramah.
          “Oh…salam kami pada putra Kunti. Mengapa kalian ada di sini. Apakah yang membuat kalian datang ke mari?”
          “Salam hormatku pada suku Gandharva sekalian. Kami diperintahkan kakak tertua kami untuk membebaskan Duryodhana. Jika tali temali yang mengikat tubuhnya tidak engkau lepaskan, dan rantai yang membelit lehernya tidak kau buka, maka terpaksa kami harus melawan kalian dengan gada dan panah kami”. Demikian kata Bhima.
          “Oh…apakah kalian hendak membela si busuk hati ini, wahai putra Kunti? Tak tahukah kalian atas penghinaan yang telah ia lumatkan pada wanita di suku kami? Kau dapat saja menelan racun penghinaan itu dengan baik di dadamu, tapi kami tak sehebat dirimu dalam menelan sebuah hinaan. Oh yang perkasa diantara pemegang gada, dengarkan aku, jika sebuah penghinaan datang pada kami, maka pantang bagi kami untuk menelannya sebagai sebuah makanan”.
          Kalimat tetua suku itu membuat hati Bhima harus menelan amarah, ia tak ingin terjadi sebuah pertupahan darah. Kemudian dengan sedikit merendah, ia berkata:
          “Jika kau mengatakan itu padaku, maka aku dapat merasakannya. Tetapi kakak tertua kami mengatakan, bahwa bagaimanapun ia, Duryodhana tetap saudara kami. Sekarang aku bertanya padamu, jika kau membunuh Duryodhana, lalu bagaimana dengan sumpahku padanya? Aku telah bersumpah untuk mematahkan pupunya kelak, ketika waktuku tiba. Oh sang bijak, katakan padaku, apa yang harus aku lakukan jika sumpah itu tak dapat terlaksana?”
          “Kau benar putra Kunti. Kau lebih berhak atas darahnya dari pada aku. Aku melepaskannya sekarang. Dan bawalah ia pergi dari sini.”
          Demikian kata tetua suku itu, kemudian Duryodhana dilepaskan dengan segera. Sekarang Hastinapura berhutang banyak pada gada Bhima dan panah Arjuna. meskipun demikian, hati panas Duryodhana tetap tidak padam, ia semakin menjadi gila karena peritiwa ini. Harga dirinya jatuh terkoyak, ia merasa sangat dihina oleh pertolongan Bhima dan Arjuna.
          Dengan rasa yang sangat tidak menyenangkan itu, ia mengambil sebilah pedang di tangannya. Ia hendak mengakhiri hidupnya sekarang, tetapi sahabat karibnya, Raja Anga Karna datang mencegah tindakan bodohnya itu:
          “Apa yang kau lakukan itu sahabatku..? Apakah kau mengira bunuh diri memberikan jawaban atas segala masalahmu? Hinaan itu, cobalah kau telan dan aduk dalam dirimu. Pandava tidak akan bunuh diri karena mereka telah dihina, lihatlah aku sahabatku. Seluruh dunia menghina aku, seluruh dunia mencampakan aku, bahkan Acarya Drona juga menolak aku karena aku adalah putra sais kereta. Tetapi aku tak pernah ingin bunuh diri, aku tetap bangkit dan berdiri dalam hinaan itu”
          Karna memegang bahu Duryodhana, ia berusaha menghibur dan meyakinkan sahabatnya itu dengan sebuah nasehat yang membara laksana api Samvartaka:
          “Berdiri di tengah hinaan dengan gagah perkasa, tak gentar akan sebuah cacian, adalah salah satu sikap ksatria perkasa. Kau adalah seorang maharatika, maka hinaan bukan sebuah senjata yang ampuh untuk menumbangkanmu. Bahkan jika para Dewata berkumpul untuk menghujanimu dengan panah-panah hinaan, aku akan datang dan mematahkannya untukmu. Bangkitlah sahabatku, kau adalah keturunan Kuru, leluhurmu perkasa, dikenal dunia. Jangan kau merendahkan derajatmu dengan bunuh diri. Bunuh diri adalah tindakan dungu dan konyol, hanya orang tak waras yang melakukan itu.”
          Nasehat itu membuat hatinya sedikit terhibur. Ia sadar dari kekalahannya sekarang, tetapi malang, itu semua tak menyadarkannya. Ia bangkit dan memeluk sahabatnya, Karna. Menangis layaknya seorang anak belia yang tengah patah hati, ia menaruh dendam kesumat yang amat dalam pada Bhima. Hidupnya penuh dengan keirihatian seperti itu, dan itulah pangkal sebuah kehancuran.



Minggu, 25 September 2011

siddha

ANTARA SIDDHA DAN MATERIAL
 Gede Agus Budi Adnyana,S.Pd.B.,M.Pd.H

          Saat para skeptis diberikan informasi tentang vimana, maka mereka menjadi tidak percaya dan tidak yakin dengan apa yang mereka baca. Berikut argument yang dilayangkan oleh para skeptis tentang vimana dan narasi yang menyatakan bahwa vimana adalah sebuah narasi omong kosong yang terlalu banyak menghayal.
  1. Mesin tidak ada di jaman dulu.
  2. Manusia masih belum memiliki kecerdasan.
  3. Manusia tidak memiliki intelejansi rohani.
  4. Kehidupan sangat primitif dan peradaban sangat kuno.
  5. Jadi resi-resi penulis Mahabharata atau Ramayana adalah orang primitive yang terlalu banyak menghayal.
Dalam berbagai hal, sebagai seorang Hindu, maka saya sedikit emosi mendengarkan pendapat itu. Tetapi, pendapat bisa saja datang dari mana saja, dan sebagai orang yang berpendidikan, untuk apa kita marah dengan pendapat itu. Kita juga punya pendapat dan berdasarkan sastra, tentu saja ini merupakan hasil dari riset sastra yang berkepanjangan.
          Hindu bukan agama keras dan dogmatis yang memukuli orang lain gara-gara beda pendapat dan cara pandang. Jadi buku ini berisikan informasi untuk umat Hindu yang yakin bahwa narasi Mahabharata adalah sejarah dan perlu sebuah kecakapan spiritual yang mumpuni untuk memahaminya. Untuk alasan itulah, mengapa saya memberikan beberapa bentuk penjelasan yang mengarah pada pemahaman akan narasi secara rohani, bukan material semata.
          Wilayah-wilayah rohani akan dipenuhi dengan kekuatan supranatural yang biasa di sebut dengan siddha. Pemerolehan kekuatan semacam ini, tidak dilakukan dengan cara instant atau dengan satu tepukan tangan, perlu ketekunan tapasya yang kuat dan bertahun-tahun lamanya. Terbukanya intelejensi rohani akan mengarah pada siddha yang berhasil akan membawa pemiliknya pada pemusatan kekuatan supranatural yang hampir dapat sejajar dengan mahluk surgawi.
          Dengan demikian, ia sendiripun dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, atau membuat benda-benda lain menjadi luar biasa. Seperti membuat sebuah rumah menjadi terbang melayang di angkasa. Atau setidaknya ia berhasil melihat dan mendapatkan citra Illahi, dimana mahluk surgawi juga menggunakan vimana sebagai sebuah kendaraan terbang. Dalam kitab Padma Purana. 51-52, dinyatakan sebagai berikut:

“Vijjvala biasanya pergi untuk mencari makanan ke gunung Semeru dan sekitarnya. Di wilayah  itu terdapat sebuah hutan yang sangat menakjubkan bernama anandakarana. Hutan itu dipenuhi oleh buah dan bunga dari pohon Illahi. Para apsara dan ghandharva datang ke sana untuk bermain-main. Kendaraan angkasa para dewa (vimana) turun berganti-gantian…..”

          Inilah sebuah hal yang berada dalam wilayah siddha, namun manusia dalam kapasitas material, jika intuisi rohaninya terbuka dan memiliki kecerdasan rohani, maka ia sendiri juga dapat menyaksikan pemandangan Illahi semacam itu. Dengan bantuan kecerdasannya pula, ia menulis tentang apa yang disaksikannya, terutama tentang Vimana. Dalam kitab yang sama Vimana dipertegas sebagai berikut:

“..Ketika Vijjvala sedang menunggu di sana, ia melihat sebuah vimana yang sedang turun. Di dalam vimana tersebut itu tampak sebuah pasangan Illahi. Mereka tampak tampan dan cantik serta berbusana indah. Pasangan itu kemudian turun dari vimana dan melangkah menuju air danau….”

          Ini adalah sebuah penampakan yang disaksikan oleh Vijjvala yang sudah dinyatakan memiliki kecerdasan spiritual untuk menyaksikan sebuah hal yang luar biasa. Disinilah letaknya, apa yang dinyatakan oleh kakakwin  totaka dalam kitab Arjuna Wiwaha, bahwa pemandangan Illahi yang hebat akan nyekala kepada orang yang sudah sempurna dalam rohani. Inilah yang dimaksudkan bahwa sesuatu yang rohani itu dapat masuk dan terlihat dalam dunia yang immanen. Tetapi yang immanen akan sulit untuk masuk ke dunia rohani.
          Jadi, tidak ada hal yang aneh jika seorang yogi yang sudah berada dalam tataran ini, dengan kekuatan laghima (dalam Asta Aisvarya) membuat benda yang ia naiki dapat seringan-ringannya dan melawan hukum Gravitasi dan terbang melayang di angkasa. Vimana inilah yang sering dinarasikan dalam kitab Purana dan Ramayana. Jadi secara pasti kendaraan ini dibuat terbang karena kuekuatan anti-gravitasi yang dihasilkan dari siddhi laghima sang yogi.
          Sebab seorang yogi yang sudah mapan, akan dapat membawa sebuah benda seberat apapun menjadi kendaraannya. Mengatur segala macam unsur alam, mengumpulkannya dan mengkolaborasikannya agar dapat bekerja sesuai dengan petunjuk sang resi. Ada banyak narasi agung untuk hal ini, di Bali sendiri, pendahulu kita melakukan hal serupa, maka tidak mengherankan jika Ida Dang Hyang Nirartha dapat mengendarai perahu bocor (jukung bocor) di samudra dengan tenang dan tidak tenggelam. Ida Hyang Maharesi Markandeya dengan mengendarai daunt alas terbang melesat di atas permukaan air laut, dan sebagainya. Apalagi resi-resi India kuno.
          Terkadang, untuk menyatukan unsur material juga diperlukan siddha secara supranatural. Inilah yang membedakan vimana dengan pesawat modern sekarang. Inti pengendali dan daya geraknya adalah laghima yang datang dari para yogi atau insan yang sudah masuk dalam tataran transedensi dan merealisasikannya dalam unsur material.
          Dalam vimanika sastra disiratkan bahawa kekuatan yoga dari siddha akan digunakan untuk menggerakan vimana. Sundara vimana salah satunya, meskipun vimana ini terdiri dari piringan, cerobong asap, 5 mesin gas, pipa logam, pipa angin, generator listrik, empat pemanas, dan penutup luar, tetapi kakuatan laghima adalah intinya, dan kecerdasan pengaturnya adalah datang dari seorang yogi.
          Kita tidak habis pikir dengan hal tersebut. Tetapi yang jelas, logam-logam mulia, bahkan listrik sendiri sudah dinyatakan dalam Veda. Pemanas, pipa angin dan sebagainya adalah sebuah peralatan yang biasa disebutkan dalam banyak kitab-kitab petunjuk teknis tentang sesuatu. Menghilangnya, vimana di jaman Kali, juga disebabkan karena menghilangnya juga kualifikasi manusia untuk merealisasikan kekuatan laghima dalam dirinya. Oleh sebab itu, hasil dari kecerdasan manusia sekarang adalah murni kecerdasan material, bukan kecerdasan spiritual.
          Tetapi meskipun demikian, spirit dalam Veda tetap senantiasa dipergunakan sebagai mercusuar kemana manusia itu melangkah dan dari mana datangnya. Seperti yang dinyatakan oleh Prof. Heeren bahwa “Veda berdiri tegak sendirian dalam kemegahannya sebagai mercusuar cahaya suci bagi gerak maju kemanusiaan”.  Dipertegas kembali oleh Annie Besant “Setelah lebih dari 40 tahun mempelajari agama-agama besar dunia, tidak ada yang sesempurna, selengkap dan sepuisitis Veda”.

Selasa, 06 September 2011

BERAPAKAH BANYAKNYA BHATARA ?
Oleh : Gede Agus Budi Adnyana, S.Pd.B.,M.Pd.H

            Indra, Agni, Kuwera, Bayu, Waruna, Aswini, Sawita, Aditya, dll. Berapakah sesungguhnya jumlah dari para Dewa tersebut ? Sebuah kurban suci ada yang ditujukan untuk menyenangkan Indra. Yang lainlagi mengadakan pemujaan kepada Bayu untuk memberikan berkah kehidupan. Sangatlah banyak sekali jumlah Dewa yang ada.

            Dewa itu adalah “ Div”yang artinya sinar, sinar suci dari Tuhan. Begitu luar biasanya. Beraneka ragam wujud dan rupa serta fungsi Nya. Manusia Hindu, dalam kesehariannya pastilah mengidolakan wujud tertentu. Wujud tersebutlah yang menjadi Dewata pujaan hatinya, atau istilahnya Ista Dewata.

            Keyakinan akan terasa lebih mantap dengan adanya wujud suci tertentu. Akan semakin dekat rasanya. Namun perbedaan mengenai Ista Dewata ini, janganlah dijadikan permasalahan yang begitu mencolok. Entah seseorang memuja Agni sebagai yang tertinggi, mengagungkan Indra sebagai yang teragung, menyucikan Narayana sebagai yang terbesar, kesemuanya itu merujuk satu , yakni Ia Yang Esa.

            Memang sangat banyak Dewa-dewa yang tampak di dalam suatu realita kehidupan. Dalam kitab’Brhad-Aranyaka Upanisad”, Brahmana IX. Terdapat keterangan mengenai Dewa-dewa.:

            1.Widagdha Sakalya bertanya kepadanya: Dewa-dewa itu berapa banyaknya, Yajnawlkya ?
            Dia menjawab dengan Niwid/ permohonan agar berkenan untuk hadir : “Sebanyak tiga ribu tiga, dipendekkan menjadi tiga ratus tiga.”
            Ya, Katanya. Tapi sebenarnya Dewa itu berapa banyaknya?
            “ Tiga puluh tiga”
            “Ya, katanya. Tapi sebenarnya  Dewa itu berapa banyaknya ?
            “ Enam”
            Ya, katanya. Tapi berapakah sebenarnya banyak Dewa itu ?
            “Tiga”
            Ya , katanya. Tapi berapakah banyaknya Dewa itu ?
            “Dua”
            Ya, katanya. Tapi berapakah banyaknya Dewa itu ?
            “Satu setengah”
            Ya, katanya. Berapakah banyaknya Dewa itu, oh Yajnawalkya ?
            “ Hanya Satu”.
                                                ( Brhad-Aranyaka Upanisad. Adhyaya III. Brahmana IX. 1)

            Sangatlah jelas. Bahkan selanjutnya dikatakan bahwa Tiga Ribu Tiga itu merupakan kekuatan MahimaNya, atau Maha BesarNya. Dengan begitu kita bisa paham, bahwa Tuhan adalah Esa, dan kekuatan beliau yang tanpa batas. Jadi tidaklah mengherankan jika di Bali, ada sebutan untuk memuliakan seperti “Ratu Ngurah”, Bhatara Lingsir, dll.

            Dalam “Reg Weda Samhita”, hal tersebut dijelaskan :
            Indram, Mitram, varunam, agnim ahur, atho divyah sa suparno garutman,
            Ekam sad viprah bahudha vadanti, agnim yamam matarisvanam ahuh.
                                                                        ( Reg Weda, I. 64.46 )
            “ Mereka menyebutnya dengan Indra, Mitra, Agni, ia yang bersayap keemasan Garuda, Ia adalah Esa. Namun para orang arif bijaksana menyebutnya dengan banyak nama, mereka menyebutnya Agni, Yama, Matariswan.”

Minggu, 04 September 2011


 PENTINGNYA BELAJAR ITIHASA

OLEH : Gede Agus Budi Adnyana, S.Pd.B.,M.Pd.H


            Apakah ada naskah kuno yang melebihi keagungan Mahabharata? Sepanjang pengetahuan saya, saya belum pernah menyaksikan naskah dan narasi kuno sehebat Mahabharata yang dapat membangkitkan jiwa rohani yang tertidur pulas. Kepiawaian Bhagavan Dvaipayana Vyasa dalam menarasikan kisah sejarah masa lalu raja-raja besar tanah Bharatavasa membuat saya jatuh cinta. Ada banyak nama untuk kita termulia sepanjang jaman ini, Mahabharata sendiri diambil dari sekian panjangnya episode narasi agung sejarah India kuno ini.
          Kisah yang sama juga dinarasikan dalam banyak Purana yang tentu saja masa penyusunannya jauh dibelakang Mahabharata. Suta Deva atau Bhagavan Ugasrava juga menarasikannya, kemudian Bhagavan Vaisampayana, kemudian Dvaipayana Vyasa sendiri sebagai penulis asli kitab Mahabharata. Sebenarnya, kitab ini diberinama Jaya Samhita oleh Bhagavan Dvaipayana Vyasa sendiri yang jumlah slokanya 8.800.
          Sedangkan Maharesi Vaisampayana sendiri menarasikannya dengan jumlah sloka 24.000, yang disebut dengan Bharata Samhita,  dan Bhagavan Suta Ugasrava menarasikannya dengan nama Mahabharata Samhita dengan jumlah slokanya 100.000. Jadi karena sangat panjang dan besar, maka Mahabharata dinyatakan sebagai Satasahasri Samhita.
          Dengan demikian, ketika seseorang menyatakan Jaya, maka secara pasti ia merujuk kita Mahabharata secara keseluruhan. Siapapun yang membaca kitab ini saat hari tertentu seperti puranama dan saat melakukan puasa, maka ia akan mendapatkan berkah dan karunia Brahman yang sejati. Bahkan Bhagavan Vararuci sendiri menempatkan Mahabharata sebagai satu bentuk jalan utama dan dasar seseorang boleh dan tidaknya melangkah mempelajari Veda lebih dalam lagi.
          Ketegasan mengenai hal ini juga dinyatakan dalam kitab Vayu Purana, sebagai berikut:
          Itihasa Puranabhyam
          Vedam samupabrmhayet
          Bibhettyalpasrutad Vedo
          Mamayam praharisyati

“Hendaknya seseorang dalam belajar Veda melalui penjelasan Itihasa (Mahabharata dan Ramayana) juga kitab Purana. Sebab Veda sangat takut jika seseorang yang bodoh membacanya, dan berfikir bahwa si bodoh itu akan memukulnya”                              (Vayu Purana. I. 201)

          Itulah sebab mengapa ada banyak maharesi dan pertapa setelah Mahabharata disusun merekomendasikan Mahabharata dibaca oleh sisya Veda menjadi sebuah materi pokok. Versi cerita sendiri sangatlah beragam, mengingat jumlah angka tahun terjadinya Mahabharata ini 5000 tahun silam. Indonesia sendiri memiliki banyak versi cerita Mahabharata yang sangat berbeda dari teks India lainnya, bahkan ada juga versi Mahabharata yang memiliki muatan intrik politik yang sangat jauh menyimpang dari narasi aslinya.
          Suatu ketika, teman saya di Program Pasca Sarjana IHDN Denpasar mengadakan sebuah diskusi panjang mengenai narasi Mahabharata dan ia menyodorkan saya teks Mahabharata yang ia dapatkan di India dari seorang suci yang bermukim dalam sebuah ashram. Ada sebuah harapan besar untuk menarasikannya kembali dari sudut Hinduisme secara murni.
          Tetapi ketika saya mulai melakukan cross check terhadapan narasi Mahabharata, saya mendapatkan banyak masalah untuk menghadirkannya. Kata-kata sandang seperti “Dev” saya rasa kurang familiar di telinga pembaca Nusantara yang terbiasa dengan kata “Bhatara”. Nama-nama tokoh Mahabharata, juga saya tuliskan penuh dengan kehati-hatian agar tetap terasa familiar di telingan pembaca budiman Nusantara.
          Saya mulai melakukan kajian teks terhadap naskah Mahabharata yang ditulis oleh penulis India yang lain, seperti Cakrawarti Rajagopalachari, Bharatiya Vidya Bhavan, di Bombay India. Mahabharata versi Jawa Kuna, yang saya dapatkan teksnya dari Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M.Hum yang merupakan dosen Fakultas Sastra UNUD.
          Kajian teks juga saya lakukan pada kitab Mahabharata Sanskrit Text With English Translation” oleh M.N.Dutt, yang editornya Dr. Ishvar Candra Sharma, Delhi India. Kemudian Mahabharata oleh Kamala Subramaniam, dan perbandingan dari buku “Keagungan Mahabharata oleh Prof. Nurkancana. Setelah kajian teks itu, saya menemukan ada banyak perbedaan dan saya mulai meminta banyak pendapat budayawan ternama seperti Supartha, SH.,M.Ag yang memberikan saya masukan agar meskipun diambil dari aslinya, tetapi tetap familiar dengan pembaca Nusantara.
          Untuk alasan itulah dan agar Mahabharata ini terkesan milik Hindu dimanapun berada, maka local genius saya gunakan sebaik-baiknya dengan tidak menyimpang jauh dari narasi aslinya. Sebenarnya, penyebarluasan ini sangat diharapkan oleh banyak sadhu di India, agar setiap orang dapat membaca manisnya keagungan Mahabharata.
          Kemudian atas bantuan Bapak Made Sugianyar SH, yang merupakan pimpinan penerbitan Ganda Pura, buku Mahabharata ini terbit dalam beberapa Parva. Mengingat ada banyak narasi yang sudah diceritakan dalam kitab yang lain, seperti Ramayana kembali diceritakan di Vana Parva ini, maka saya memangkasnya, maka ada beberapa pemangkasan dalam Vana Parva ini. Jadi buku ini adalah hasil kajian pustaka dari banyak sumber tertulis dan disesuaikan dengan keadaan Hindu Nusantara.
          Jika suatu ketika nanti, ada banyak terpelajar yang tumbuh dari pembaca narasi Mahabharata ini, saya sangat berbangga hati. Saya ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Sugianyar, Bapak Supartha, Bapak Sulibra, dan seluruh rekan-rekan penggemar berat Mahabharata di Pasca-sarjana IHDN Denpasar, kepada pegawai perpustakaan koleksi pasca, yang membantu saya dan dengan sabar memberikan fasilitas untuk kajian teks, kepada Dediyana yang memberikan saya narasi Mahabharata dalam bentuk film, yang saya gunakan juga sebagai kajian pustaka, kepada Kadek Agus Bayu Pramana dan kedua orang tua saya yang memberikan restu, saya ucapkan terima kasih.
          Yang terpenting adalah ucapan syukur saya dengan sembah hormat sedalam-dalamnya kepada Paduka Bhatara Hyang Guru, yang menjadi junjungan saya, Bhatara Dalem, dan juga Hyang Sinuhun Lelangit saya yang saya muliakan. Semoga pikiran yang tenang dan damai datang dari segala penjuru.

DVAITA DAN ADVAITA VEDANTA
Mengajari Kita Tentang Hidup Rukun Dalam Perbedaan

Oleh : Gede Agus Budi Adnyana, S.Pd.B.,M.Pd.H

                Ala Veda, kita hanya mengenal sebuah perdebatan sengit antara banyak maharesi dan juga pertapa yang saling beradu argumen dalam mencari banyak kebenaran. Diantara mereka bahkan tidak ada cocok dalam konsep ketuhanan sedikitpun, dan mereka juga memiliki cara dan jalannya sendiri untuk menemukan Tuhan mereka sendiri. Para penekun Yoga akan mengejar Tuhan dengan jalan mengatur nafas dan olah tubuh mereka dalam pemusatan setiap tindakan kerja pada satu bentuk Tuhan yang mereka anggap benar.
                Para penekun Bhakti, akan melihat diri mereka sendiri sebagai pelayan dan hanya melayani tanpa harus menuntut ini dan itu. Mereka yang mencari kebenaran hakiki dengan melakukan oleh akal sehat dan menemukan banyak kebenaran valid dari hipotesa mereka susun, juga menemukan Tuhannya masing-masing. Suatu ketika, seorang anak kecil pernah bertanya kepada saya, bagaimana dan apa serta Tuhan yang mana benar, apakah berpribadi atau tidak? Melihat umur dan tingkat kecerdasan spiritualnya, saya merasa sangat khawatir jika menjabarkan Tuhan dalam banyak sloka-sloka Upanisad dan mantra Veda. Syukurnya, anak kecil itu bertanya pada saya bahwa antara Tuhan yang berpribadi dan Tuhan yang tanpa sifat, tanpa bentuk, dan tanpa warna sekalipun, yang mana benar atau yang mana paling tinggi?
                Mungkin ini juga yang sering bertengger di kepala kita tentang Tuhan dan perdebatan tentang Tuhan tidak akan pernah ada habisnya. Jika saya mulai mengerucutkan pola dan konsep Tuhan dalam dua jalan besar Veda, yakni Advaita dan Dvaita, maka kita akan menemukan jalan, falsafah dan juga pengertian yang tidak sama. Yang satu berbicara bahwa hakikat kebenaran tertinggi adalah berpribadi dengan sifat-sifat mirip manusia dan memiliki kata “Maha” di depannya. Sedangkan yang satunya lagi, tidak ada difinisi apapun juga, bahkan mahaguru besar dan pertapa terkenal India bernama Adi Sankaracarya menyatakan Tuhan dengan simpulan Brhad-Aranyaka Upanisadnya dengan kata “Neti-neti” tidak demikian dan tidak demikian.
                Lalu jika kata “tidak demikian-tidak demikian” kita bawa pada satu rumusan tentang konsep Tuhan secara pribadi, maka ini akan berbenturan. Demikian juga sebaliknya jika kita bawa konsep Tuhan dengan berbagai macam bentuknya yang Maha Perkasa, dengan jumlah atribut yang sangat beragam, maka juga akan berbenturan dengan “Neti-neti”. Saya adalah manusia yang meyakini bahwa setiap maharesi, pertapa dan manusia siddha lainnya, yang sudah melakukan banyak tirakat kuat untuk menemukan kebenaran, mereka pasti melihat dengan banyak metode dan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, tetapi sama benarnya.
                Tergantung seberapa suci diri kita, seberapa tajam kecerdasan kita, dan seberapa mantap kita berjalan dalam jalan Veda. Seorang yang tidak pernah melakukan Bhakti dan tidak yakin dengan sabda kitab suci, tidak akan dapat memahami hakikat Tuhan baik dalam jalan Dvaita dan Advaita. Atau ada juga manusia yang percaya pada Tuhan, namun karena ia tidak pernah melakukan tirakat dan memprayascitta dirinya, maka kecerdasan rohaninya tumpul, juga akan kesusahan untuk mengertikan Tuhan secara benar. Lalu bagaimana mestinya? Sebaiknya belajarlah mengenali Tuhan dengan bantuan guru suci rohani yang mumpuni dan di bawah naungan guru parampara. Dengan demikian, kita akan mendapatkan satu kesimpulan yang baik dalam jalan kebenaran yang pasti.
                Seorang anak SD tidak akan dapat memahami Tuhan dengan baik dalam konsep “Neti-neti”. Mereka perlu sebuah bantuan untuk memusatkan indera mereka dan memahami bahwa Tuhan itu nyata dan ada. Demikian juga dengan anak muda yang baru beranjak remaja, tidak akan dapat memahami Tuhan dalam konsep Upanisad sehebat para pertapa atau seorang Mahasiswa. Jadi konsep Tuhan setidaknya ditanamkan dengan melihat berapa umur mereka. Atau setidaknya Tuhan akan terlihat berbeda ketika orang yang sudah matang intuisinya dengan orang yang belum matang intuisinya. Seorang pendosa kelas berat peringkat pertama, ketika ajal tiba, ia akan diseret dalam pengadilan Yama, dan bagi mereka yang merupakan bajingan kelas wahid, maka wajah Tuhan akan tampak menakutkan.
                Tapi bagi seorang sadhu, maka wajah Tuhan akan tampak sejuk dan menawan. Lain lagi, ketika seorang pemuda yang tengah jatuh cinta pada seorang gadis, akan memuja Tuhan mereka, agar asmaranya lancar, dan sebaginya memuja Tuhan mereka dan melihat Tuhan mereka seperti Hyang Kandarpa dengan panah tebunya yang siap menembak hati setiap mahluk. Oh…bagaimana mungkin kita yang kotor ini mendifinisikan Tuhan secara final?
                Mungkin ada yang bisa, namun kesimpulan mereka belum tentu akan sama diterima dengan orang lain. Maka kita sebagai manusia yang berakal setidaknya menempatkan diri sebagai orang yang melihat kebenaran dalam segala jalan dan arah. Dengan demikian, kebijaksanaan akan datang dan menari dalam pikiran kita. Cobalaha kita renungkan mantra berikut:
Om A No Badrah Kratavo Yantu Visvatah “Semoga pikiran yang tenang dan damai datang dari segala penjuru”. Ini menegaskan pada kita bahwa dalam melihat kebenaran, kita hendaknya melihat dalam banyak sisi dan dimensi. Serta menerima kebenaran itu dari berbagai macam arah, mungkin jika kita semuanya berfikir demikian, maka tidak akan ada kelompok yang merasa sebagai komunitas eksklusif dan berdiri di atas yang lain. Atau mengatakan kebenaran hanya milik golongan tertentu dan yang lainnya sesat.
                Alangkah indahnya hidup dengan kedamaian dan ketenangan, hidup dalam keberagamaan dengan multikultur, adalah ibarat seperti banyaknya bunga di sebuah taman. Atau seperti pelangi dengan banyak warna. Tuhan menciptakan manusia dengan akal serta pikiran yang berbeda, itulah mengapa hidup dalam kedamaian meskipun berbeda konsep, adalah perlu dikembangkan. Saya mulai sedih, ketika satu kelompok yang merasa benar menyerang kelompok lain yang bagi mereka salah total, dan akan masuk neraka abadi. Wah…tampaknya kendali Tuhan sudah diambil manusia.
                Mengapa advaita dan dvaita Vedanta tetap berjalan seimbang dalam konsep Tuhan Hindu, itu karena Hindu bukan agama pragmatis dan dogmatis. Hindu adalah sebuah agama tertua di dunia yang memberikan kebebasan pada umatnya untuk melihat kebenaran dalam banyak jalan. Jadi, apa yang harus diperhatikan adalah, bahwa setiap resi Hindu memiliki konsep berbeda namun tetap rukun-rukun saja. Itulah debat ala Veda, perdebatan tidak dilakukan dengan adu otot tapi dengan adu argument dengan otak yang berdasarkan kecerdasan spiritual.
                Alangkah bodohnya kita, ketika kita merasa bahwa konsep kita yang paling baik sedangka yang lain adalah salah. Kemudia mulai mencaci maki yang lain seperti kita sendiri adalah penentu akhir segalanya. Orang yang melihat kebenaran, hanya akan terdiam ketika ia melihat ada banyak cerdik pandai berdebat. Sayangnya, ketika yang bijaksana mulai bicara, si cerdik dan si pandai mulai menertawai. Andaikata syair seorang pujangga besar India bernama Kabir dapat memberikan kita sebuah petuah, bahwa “Aku heran melihat ikan kehausan dalam air…. Mengembara dari satu hutan dan ke hutan yang lain hanya untuk menemukan kebenaran….ternyata kebenaran itu ada dalam diri kita