Selasa, 09 Agustus 2011

mahabharata(Draupadai harana Parva:book3The Vana Parva)


DRAUPADI HARANA PARVA

          Setelah seluruhnya menyelesaikan tugas dengan baik, dan tirtha-yatra mereka usai, mereka kemudian kembali berkumpul menjadi satu. Kakak sulung Yudhisthira sudah menyelesaikan prayascittanya dengan sukses dan menjadi tenang setelah itu. Ia sekarang terlihat seperti Narada, sang pendeta perkasa. Bhimasena yang diberkati oleh Putra Anjani sekarang bertambah kuat bagaikan Bhatara Vayu sendiri, sedangkan Arjuna sudah mendapatkan banyak senjata sakti dari para Dewa. Mereka benar-benar penakluk benteng musuh yang ditakuti.
          Suatu pagi yang cerah, setelah menyelesaikan doa paginya, Dewi Draupadi kemudian pergi untuk mengambil air di sungai sebagai bahan pokok untuk kehidupan mereka. Ia mengumpulkan kayu bakar dan membawa gerabah untuk disi banyak air dan segera di bawa pulang. Pagi itu, tak seorangpun yang lewat dan tampak melakukan aktifitas di sungai sebagai mana biasanya. Tetapi Draupadi tidak menyadari hal itu, ia terlalu asyik menjalankan tugas hariannya.
          Air sungai itu kemudian diambilnya dengan segera dan gerabah itu sekarang telah penuh berisi air. Beranjak pulang, Draupadi juga tidak menemukan satu orang pun yang lewat di jalan hutan itu. Jalan itu memang sering dilalui oleh banyak orang sebab jalan itu termasuk jalan lebar yang lapang. Ada banyak kereta barang yang lewat setiap harinya, tetapi hari ini tak satupun dari mereka yang terlihat.
          Secara otomatis, maka Draupadi berjalan seorang diri sambil membawa pariuk yang berisi air untuk di masaknya di rumah. Perlahan-lahan terdengarlah suara pantulan kereta kuda dari belakang, tetapi Draupadi tidak mengindahkan hal tersebut, ia hanya berjalan maju tanpa menoleh sedikitpun.
          Kereta kuda itu berjalan perlahan setelah dekat dengan Draupadi, ternyata yang mengendarai kereta itu adalah raja Shindudesa bernama Maharaja Jayadratha. Ia adalah raja sekaligus ipar dari pangeran Duryodhana. Secara pasti, maka ia juga memiliki kedekatan dengan keluarga Pandava. Jayadratha kemudian menghentikan keretanya lalu turun  dan  menyapa Draupadi yang berjalan sendiri:
          “Draupadi…. Mengapa dirimu seorang diri berjalan di tepian sungai ini…?”
          “Oh..Maharaja Shindu, aku kira engkau siapa. Aku sudah terbiasa melakukan tugasku seorang diri, maharaja hendak kemana mengendarai kereta..?”
          “Aku hendak pulang, sampai kemarin, aku masih menginap di Hastinapura..”
          “Oh..bagaimana keadaan di istana..?”
          “Biasa saja dewi, tidak ada yang berubah semenjak kepergian kalian”.
          “Bagaimana kabar kakek Bhisma dan mahaguru Krpa..?”
          “Mereka sehat-sehat saja dan tengah menunggu kalian untuk pulang kembali…”.
          “Aku tak akan kembali ke istana, dimana aku ditelanjangi dan dipermalukan demikian…”.
          Jayadratha diam sejenak, ia berusaha untuk merayu Draupadi yang hanya seorang diri di sana. Kemudian dengan sedikit mendekat, maharaja yang mulai dibutakan oleh nafsu itu berkata:
          “Dewi.., Jika kau tak berkeberatan, maka ikutlah denganku ke Shindu. Kau adalah putrid Maharaja Pancala, hutan bukanlah tempatmu untuk tinggal. Jadi mari, naiklah bersamaku di kereta ini dan nikmatilah hidup bahagia di sana..”
          Mata Draupadi membelalak besar dan memerah. Ia sangat terkejut melihat kelancangan Jayadratha berkata demikian. Benarlah, jika kekayaan, dan kuasa meninggalkan seseorang, maka hanya hinaan sajalah yang menghampirinya. Draupadi kemudian berkata dengan nada tegas:
          “Oh..raja, Lupakah dirimu tentang siapa aku ini? Atau kau sudah mulai kehilangan akal sehatmu sehingga kau tidak perduli terhadap aturan dan tata karma yang ada..? Jika aku dengar kata-kata kotormu itu kembali, maka aku tidak akan sungkan untuk melemparkan kendi ini kewajahmu maharaja..”.
          “Oh..manis sekali seorang dewi yang tengah murka dalam kegalauan hatinya. Jangan lupa Draupadi, kau sendiri di tengah hutan ini, aku dapat saja membawamu lari dengan paksa dank au tidak akan berdaya…”.
          “Coba saja jika kau bisa, maharaja.. Tetapi aku yakinkan padamu, jika kau berani melakukan tindakan bodoh itu, maka tangan dan kakimu akan terkulai lemah tak berdaya kembali..”.
          “Ha..ha..ha..ha….ha…ha…ha…ah…haa..oh dewi..dewi..kau jangan membuat aku tertawa. Siapa yang akan datang menolongmu ke sini? Pandava? Mereka berjarak beberapa kilo jauhnya, sedangkan aku menaiki kereta, bagaimanapun kecepatan lari mereka, tak akan dapat mengejar aku..ha..ha..ha….”.
          “Dasar binatang….”.
          Setelah mengatakan hal itu pada Jayadratha, maka Draupadi pergi meninggalkan Jayadratha. Ini membuat raja yang bernafsu itu semakin ingin menculik Draupadi. Orang gila itu kemudian memegang tangan Draupadi dan dengan segera melumpuhkannya lalu menggendongnya dengan sangat enteng. Draupadi meronta-ronta, ia menangis sejadi-jadinya seperti ketika Sita diculik oleh Ravana.
          Periuk yang di bawanya terjatuh dan pecah berantakan, kemudian raja Shindu itu melarikan Draupadi dengan kereta kudanya. Yudhisthira mendapatkan firasat yang buruk, seketika ia memanggil Bhima dan Arjuna untuk mencari Draupadi. Alamat buruk itupun terbukti, ketika Bhima menemukan periuk milik Draupadi yang pecah berantakan. Pastilah terjadi sesuatu padanya, dan Arjuna menemukan jejak bekas kereta kuda.
          Mereka kemudian memutuskan untuk mengejar ke mana arah kereta kuda tersebut. Dengan kekuatan berlari laksana kera yang marah, Bhima melesat dengan kencangnya. Sedangkan Arjuna menggunakan tubuh seringan kapas dan berlari layaknya Bhatara Pavana yang melesat kencang.
          Dengan segera mereka mendapati Draupadi menjerit di atas kereta Jayadratha. Murkalah Bhima melihat hal itu, kemudian ia melemparkan gadanya ke arah kereta Jayadratha, dan hasilnya kereta itu hancur berantakan. Kuda-kudanya tewas di tembak anak panah Arjuna. pasukan Jayadratha yang menyerang semuanya diikat oleh anak-anak panah naga oleh Arjuna dan mereka lumpuh seketika.
          Kini tinggallah Jayadratha yang ketakutan sendiri melihat prajuritnya lumpuh total. Ia berlari dengan sebisanya, tetapi apalah arti lari Jayadratha dari kejaran Bhima. Satu tinju telak mendarat di pelipisnya dan membuat raja yang penuh nafsu itu roboh terjerebab ke tanah.
          Belum sempat bangkit untuk bersiap, Bhima kembali menginjak kepala Jayadratha dengan keras dan menendang dadanya yang bidang. Ia mengangkat tubuh Jayadratha dan membantingnya ke arah tanaman berduri. ia mangamuk bagaikan gajah gila yang lapar, Jayadratha terkapar bersimbah darah, tetapi human Bhima belum selesai, ia mengambil gadanya dan menghantamkannya ke arah kepala Jayadratha. Raja itu terhuyung-huyung tak seimbang dan limbung.
          Bhima kembali menghantamkan gadanya tepat bersarang di leher sang raja. Kemudian satu pukulan lagi di dadanya dan membuat tiga tulang rusuk Jayadratha patah. Satu pukulan gada lagi ke arah bahu, dan membuat bahu kekar itu rontok bagaikan dahan kering diterpa topan. Jayadratha sudah tak berdaya, ia terkulai lemas dan rebah di tanah bersimbah darah.
          Arjuna kemudian melerai perkelahian yang mulai kelihatan tak seimbang itu.
          “kakak..sudah kakak, cukup sampai di situ..kakak…aku mohon…Jika kau memukulnya lagi, maka Jayadratha pasti akan mati.
          Demikian Arjuna menghentikan kakaknya untuk bertindak lebih jauh lagi. Bhima dapat mengendalikan dirinya, sehingga nyawa raja Shindu itu selamat, dan ia kemudian diikat dengan tali rotan kemudian di bawa menuju kepada Dharmaraja. Saat itu, Jayadratha sudah tidak berdaya lagi, ia terkulai dan tanpa ia sadari sekejap saja, ada suara lembut yang membangunkannya. Ternyata itu adalah suara Yudhisthira:
          “Raja Shindu, bangunlah…”.
          Ketika ia membuka matanya, di depannya berdiri Dharmawangsa dengan tatapan tajam namun dengan nada suara yang tanpa amarah.
          “Alangkah nista dan kotornya perbuatanmu itu sebagai seorang raja. Apakah ini cerminan sikap pimpinan tertinggi di Shindudesa? Melarikan seorang wanita yang sudah memiliki suami? Jika kau adalah seorang ksatria, maka tunjukkan sikapmu terhadap aturan dan peradaban luhur yang sudah digariskan oleh banyak orang bijak”.
          Jayadratha tidak dapat berkata apapun, ia tertunduk dan diam seribu bahasa mendengarkan petuah dari lawan bicaranya. Bhima kemudian menimpali:
          “Kakak, si dungu ini sudah aku ampuni karena Arjuna melarang aku untuk membunuhnya. Tetapi perbuatannya pada Pancali, tidak dapat aku terima. Jika kau mengijinkan aku, maka aku akan memenggal kepalanya dan membakar mayatnya kemudian aku buang ke sungai Gangga…”
          “Tidak Bhima, jangan kau nodai tanganmu dengan darah raja Shindu ini. Hukuman darimu sudah cukup untuknya. Sekarang kita tanyakan saja pada Pancali, apakah yang harus kita lakukan pada bajingan ini…”.
          Pandava kemudian menoleh kepada Putri Pancali dengan tatapan siap untuk menunggu permintaan. Draupadi menarik nafas panjang, ia sendiri tak mengerti apa yang harus dilakukan. Satu sisi, ia merasa sangat kasihan melihat keadaan raja Jayadratha yang sekarat demikian, tetapi di sisi lain, kehormatannya, harga dirinya sebagai wanita yang telah bersuami, tercabik-cabik. Maka dengan segala kepercayaan diri ia berkata:
          “Aku tak dapat menjatuhkan hukuman pada si dungu ini. anggap saja dia adalah manusia yang tidak tahu peradaban yang baik dan benar, maka kita akan mengajarinya sekarang. Dia adalah seorang raja besar, maka tak pantas bagiku untuk menghukum dia, hanya kakak Yudhisthira saja yang akan menjatuhkan hukuman…”.
          Maharaja Yudhisthira memandang putrid Pancali dengan senyuman manis dan ia berusaha meyakinkan bahwa setiap manusia dapat saja melakukan kesalahan karena tertutupnya buddhi. Hukuman mati, dirasa sangat berat dan tidak sepadan dengan tata cara mendidik manusia yang tidak memiliki rasa malu untuk menjadi manusia yang punya rasa malu.
          “Bhima, Arjuna, dan juga Pancali. Dengarkan kataku sekarang. Kita maafkan saja raja Jayadratha ini. anggap saja ia adalah manusia buangan yang tak tahu tata karma, atau orang gila yang tidak tahu aturan. Lalu bagaimana mungkin kita menjatuhi hukuman pada orang gila…?”
          Demikian kata Yudhisthira, tetapi Dhananjaya menyanggah dengan tegas:
          “Untuk hal yang satu ini aku tidak sependapat denganmu kakak. Ia telah menodai kehormatan Pancali, bagaimana mungkin kakak membiarkannya pergi begitu saja.? Ia adalah ksatria, jadi kita hukum dia layaknya seorang ksatria yang telah mendapatkan penghinaan. Kita cukur rambutnya, dan baru kita biarkan dia pergi…”.
          Dalam peradaban kuno, seorang ksatria yang kalah dalam perang dan tunduk akan kekuasaan raja yang mengalahkannya, maka ia menyerahkan mahkotanya, atau mencukur rambutnya tanda ia sebagai seorang budak. Inilah yang dilakukan oleh Bhima sekarang kepada Jayadratha. Rambut raja Shindu itu kemudian dicukur habis dan ia seperti orang gila. Setelah itu barulah ia dilepaskan oleh Pandava.
          Raja Jayadratha sangat terhina dengan perlakuan itu, maka ia pun pergi ke hutan dan memutuskan dirinya untuk bertapa. Ia bertapa dengan niat menerima berkah Mahadewa agar suatu ketika nanti, ia dapat mengalahkan Pandava di medan laga untuk membalas kekalahannya.
          Dalam tapanya, maharaja Jayadratha memuja Mahadewa dengan sungguh hati dan iapun duduk dalam posisi yang tegak. Mengatur nafasnya dalam diam, dan hanya mengenakan pakaian kulit kayu. Setiap malam tiba, ia sudahi tapanya dan menatap langit dengan geramnya:
          “Arjunaaaaaaaa…………Bhimaaaa……….. Jika suatu ketika nanti kita akan bertemu kembali, maka aku berjanji pada diriku sendiri akan mengalahkan kalian dengan tanganku ini..haaaaaaaaa..heeehaaaahhhhhh…….Oh…Mahadewa, lihatlah tapa yang aku lakukan untuk menyenangkan hatimu. Berikan aku kekuatan agar Bhima dan Arjuna tidak berkutik di depanku…Oh…Mahadewa………”.
          Jayadratha berteriak demikian setiap malam menahan perih dari luka penghinaan yang ia terima. Inilah ceriman manusia dungu, sebab hasil yang ia terima sebenarnya adalah dari tindakan yang ia lakukan sendiri. Karena itu dalam peradaban Veda, seseorang yang melihat ipar perempuan, kakak wanita, wanita yang bukan istrinya, dan wanita asing yang ia temui, harus dipandang sebagai seorang ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar