Senin, 26 September 2011

TAWANAN GANDHARVA

oleh: Gede Agus Budi Adnyana,S.Pd.B.,M.Pd.H

          Mereka kini sudah ada di hutan dimana Pandava bermukim, namun dengan jarak yang tak terlalu jauh ataupun tidak terlalu dekat. Mereka mendirikan tenda di sana, dan berpesta pora dengan gegap gempitanya seakan-akan mereka bernyanyi di tengah kemelaratan saudaranya sendiri. Bhima menyaksikan pemandangan yang tak menyenangkan hatinya itu, kemudian ia masuk ke dalam pondoknya dan membanting kayu bakar yang ia cari tadi di tengah hutan:
          “Kurang ajar… mereka mendirikan tenda di sana dan berusaha mengolok-ngolok aku yang tengah menderita…jika aku tak melihat kakak tertuaku, sudah aku patahkan pupunya di sana…”
          Yudhisthira kemudian berkata pada adiknya yang temperamental itu:
          “oh adikku..apakah kau iri dengan mereka..?”
          “Untuk apa aku iri kakak, jika aku mau akupun dapat dengan leluasan seperti mereka, yang aku tak habis pikir adalah mengapa mereka membuat tenda di sini… aku yakin ada banyak rencana gila dari paman Sakuni yang dungu itu..”
          “Mengapa kau bicara kasar dan menghina pamanmu sendiri Bhima..? bagaimanapun juga mereka adalah saudaramu dan pamanmu”
          ‘Paman..Oh ya paman..ialah seorang paman yang telah merenggut hak keponakannya, ialah paman yang baik budinya dengan mengirimkan keponakannya yang tersayang untuk masuk hutan, dengan harapan akan tewas di terkam binatang buas. Dialah paman, yang kakak agungkan sebagai seorang pelempar dadu kelas wahid yang berteriak “menang..menang…” dan berusaha menodai kesucian Draupadi di Hastinapura..Oh kakaku, jika kau masih sayang pada adikmu ini, maka sekarang jawablah pertanyaanku. Apakah tindakan mereka itu pantas di pandang sebagai saudara?”
          “Adikku..dengarkanlah olehmu, tindakan dungu dan bodoh adalah mengikuti kejahatan orang yang menjahati kita. Jika kita ikut membalas sebuah kejahatan itu dengan kejahatan, maka kita tak ubahnya seperti api yang bertemu minyak. Padamkan api itu adikku, siramilah dirimu dengan air kesabaran. Aduklah penghinaan mereka dan ambillah sarinya untuk masa yang akan datang…”
          “Kakak, masalah kebijaksanaan kau adalah rajanya, aku tak dapat menandingimu dalam masalah bersabar. Racun penghinaan ini terlalu besar buatku, bahkan jika aku letakkan di atas bukit, maka bukit itupun akan hancur. Sebenarnya karena masih menghormatimulah, aku tidak menghantamkan gadaku pada kepala Duryodhana yang gila itu. Maafkan aku kakak atas kemarahanku”
          Setelah berkata itu, Bhima pergi dari hadapan Yudhisthira. Ia menyendiri di belakang pondok dan menatap langit. Dunia mengenalnya sebagai Vrkaudara, apapun yang datang pasti dilahapnya, dan ia termasyur karena keperkasaan gadanya. Kini ksatria agung itu harus menahan marah yang luar biasa, tak dapat melakukan pukulan dan tendangan walapun hanya sekali, karena masih melihat dan mendengarkan kebijaksanaan dari kakak tertuanya, Yudhisthira.
          Sementara itu, Duryodhana yang tengah mabuk karena minuman keras pergi berkeliling hutan. Ia melihat ada banyak pohon besar yang ditutupi semak-semak, dan ia berdiri di sana, karena masih berada dalam pengaruh minuman keras, ia tak dapat mengontrol dirinya sendiri. Tiba-tiba saja, ia melihat seorang gadis yang berjalan seorang diri di hutan. Kain yang dikenakan gadis itu sangat tipis, dan lekukan badannya yang mempesona menggairahkan hasrat Duryodhana.
          Gadis itu melenggang kangkung di depan  pangeran yang dungu itu, dan dengan segera pangeran mendekatinya. Kemudian ia berkata:
          “Oh… Gadis ku, siapakah dirimu..? apakah kau mau menemaniku malam ini di sini, ayo puaskan aku dengan pelayananmu, aku membutuhkanmu sekarang…”
          Tangan pangeran itu segera bergerak aktif mencengkram lengan gadis yang ternyata adalah putrid suku gandharva. Ia meronta dan berusaha lepas dari cengkraman Duryodhana, kemudian karena kelihaiannya dan lagi pula Duryodhana  masih beradadalam pengaruh minuman keras, dengan mudahnya ia dapat meloloskan diri dari cengkraman Duryodhana.
          Gadis itu adalah seorang putri Gandharva, yang memiliki bala tentara perkasa di hutan Kamyaka. Ia menangis di hadapan seluruh golongan Gandharva yang ada dan menceritakan bagaimana dirinya dihina layaknya seorang wanita jalang oleh pangeran Duryodhana. Merasa harga dirinya diinjak-injak, suku Gandharva itu bangkit dengan senjata lengkap di tangan mereka, berkeinginan menggempur pangeran Hastinapura yang tengah berkemah di sana.
          Sementara itu, Diryodhana, Karna, Duhsasana tengah asik tenggelam dalam nyanyian dan tarian yang dibuai oleh nikmatnya minuman keras. Mereka tak sadar bahwa bahaya yang besar sebentar lagi akan datang, dan membuat harga diri mereka jatuh. Dalam keadaan mabuk berat, tanpa di duga-duga puluhan anak panah mengepung mereka, dan Duryodhana tak dapat berbuat apapun selain menyerah kalah. Karna sempat melarikan diri sebisa mungkin untuk mengumpulkan kesadarannya.
          Ia membasuh mukanya, dan berusaha bangkit dari buaian minuman keras. Sekuat tenaga menyadarkan dirinya dan dengan segera ia mengatur nafasnya agar kondisinya kembali stabil. Tetapi sahabatnya, Duryodhana sudah diikat oleh suku Gandharva, layaknya tawanan perang dalam sebuah medan pertempuran. Prajurit setia Duryodhana yang sadar akan situasi yang tidak menguntungkan itu, segera pergi untuk meminta perlindungan. Tidak tahu apa yang harus diperbuat, panik dan ketakutan akan bahaya, ia masuk ke dalam pondok  Yudhisthira dan segera menjura dihadapan Dharmaraja:
          “Oh…yang dipanggil maha bijaksana oleh seluruh raja, ampuni hamba yang lancang masuk tanpa ijin paduka. Dengarkanlah keluhan hamba, pangeran Duryodhana tengah ditawan oleh suku Gandharva. Oh…lambang kebenaran, hamba mohon padamu, selamatkanlah pangeran dari cengkraman musuh, jika tidak Hastinapura akan kehilangan..”
          Mendengar berita yang genting demikian, Yudhithira bangkit dari samadhinya, dan memanggil Bhima serta Arjuna:
          “Wahai adikku..engkau dengar apa yang telah menimpa saudara kita? Janganlah berdiam diri, ambil gadamu dan ambil busur panahmu, selamatkan saudara kita dari suku Gandharva itu?”
          “Maafkan aku kakak. Kita tak pernah memiliki permusuhan dengan suku Gandharva, lalu mengapa kami harus bertempur melawan mereka?”
          “Karena mereka telah berani menawan saudara kita, dan mereka telah menawan pangeran Hastinapura diperbatasan negara. Alangkah berani tindakan mereka, ayolah Bhima, selamatkan saudaramu..?”
          “Oh..kakakku, apakah akal sehatmu sudah hilang? Aku harus mengumpulkan kayu kering untuk perapian, dan rumput kering untuk alas tidur, ini semua karena keserakahan Duryodhana, dan sekarang aku harus datang menyelamatkan nyawa si dungu itu? Tidak kakak, tidak, aku tidak mau melakukannya.” Kata Bhima dengan nada yang sangat panas.
          “Aku tak menyangka, bahwa kalian memiliki sebuah perasaan yang buruk pada saudara kalian. Bagaimanapun ia, ia tetap saudara kita. Jika kau tidak mau menyelamatkan Duryodhana, maka biarlah aku saja yang berangkat ke sana”. Kata Yudhisthira sambil mengambil tombaknya.
          Melihat kakak sulungnya demikian keras, maka lunaklah hati Arjuna dan Bhima, mereka bergegas mencari suku Gandharva yang tengah menawan Duryodhana. Di sana mereka melihat Duryodhana, sang pangeran Hastinapura terikat dengan rantai yang kukuh. Ia sangat memalukan dengan posisi yang demikian. Melihat kedatangan Bhima dan Arjuna, suku Gandharva itu menjadi sangat segan, dan mereka menyambut Bhima dengan sangat ramah.
          “Oh…salam kami pada putra Kunti. Mengapa kalian ada di sini. Apakah yang membuat kalian datang ke mari?”
          “Salam hormatku pada suku Gandharva sekalian. Kami diperintahkan kakak tertua kami untuk membebaskan Duryodhana. Jika tali temali yang mengikat tubuhnya tidak engkau lepaskan, dan rantai yang membelit lehernya tidak kau buka, maka terpaksa kami harus melawan kalian dengan gada dan panah kami”. Demikian kata Bhima.
          “Oh…apakah kalian hendak membela si busuk hati ini, wahai putra Kunti? Tak tahukah kalian atas penghinaan yang telah ia lumatkan pada wanita di suku kami? Kau dapat saja menelan racun penghinaan itu dengan baik di dadamu, tapi kami tak sehebat dirimu dalam menelan sebuah hinaan. Oh yang perkasa diantara pemegang gada, dengarkan aku, jika sebuah penghinaan datang pada kami, maka pantang bagi kami untuk menelannya sebagai sebuah makanan”.
          Kalimat tetua suku itu membuat hati Bhima harus menelan amarah, ia tak ingin terjadi sebuah pertupahan darah. Kemudian dengan sedikit merendah, ia berkata:
          “Jika kau mengatakan itu padaku, maka aku dapat merasakannya. Tetapi kakak tertua kami mengatakan, bahwa bagaimanapun ia, Duryodhana tetap saudara kami. Sekarang aku bertanya padamu, jika kau membunuh Duryodhana, lalu bagaimana dengan sumpahku padanya? Aku telah bersumpah untuk mematahkan pupunya kelak, ketika waktuku tiba. Oh sang bijak, katakan padaku, apa yang harus aku lakukan jika sumpah itu tak dapat terlaksana?”
          “Kau benar putra Kunti. Kau lebih berhak atas darahnya dari pada aku. Aku melepaskannya sekarang. Dan bawalah ia pergi dari sini.”
          Demikian kata tetua suku itu, kemudian Duryodhana dilepaskan dengan segera. Sekarang Hastinapura berhutang banyak pada gada Bhima dan panah Arjuna. meskipun demikian, hati panas Duryodhana tetap tidak padam, ia semakin menjadi gila karena peritiwa ini. Harga dirinya jatuh terkoyak, ia merasa sangat dihina oleh pertolongan Bhima dan Arjuna.
          Dengan rasa yang sangat tidak menyenangkan itu, ia mengambil sebilah pedang di tangannya. Ia hendak mengakhiri hidupnya sekarang, tetapi sahabat karibnya, Raja Anga Karna datang mencegah tindakan bodohnya itu:
          “Apa yang kau lakukan itu sahabatku..? Apakah kau mengira bunuh diri memberikan jawaban atas segala masalahmu? Hinaan itu, cobalah kau telan dan aduk dalam dirimu. Pandava tidak akan bunuh diri karena mereka telah dihina, lihatlah aku sahabatku. Seluruh dunia menghina aku, seluruh dunia mencampakan aku, bahkan Acarya Drona juga menolak aku karena aku adalah putra sais kereta. Tetapi aku tak pernah ingin bunuh diri, aku tetap bangkit dan berdiri dalam hinaan itu”
          Karna memegang bahu Duryodhana, ia berusaha menghibur dan meyakinkan sahabatnya itu dengan sebuah nasehat yang membara laksana api Samvartaka:
          “Berdiri di tengah hinaan dengan gagah perkasa, tak gentar akan sebuah cacian, adalah salah satu sikap ksatria perkasa. Kau adalah seorang maharatika, maka hinaan bukan sebuah senjata yang ampuh untuk menumbangkanmu. Bahkan jika para Dewata berkumpul untuk menghujanimu dengan panah-panah hinaan, aku akan datang dan mematahkannya untukmu. Bangkitlah sahabatku, kau adalah keturunan Kuru, leluhurmu perkasa, dikenal dunia. Jangan kau merendahkan derajatmu dengan bunuh diri. Bunuh diri adalah tindakan dungu dan konyol, hanya orang tak waras yang melakukan itu.”
          Nasehat itu membuat hatinya sedikit terhibur. Ia sadar dari kekalahannya sekarang, tetapi malang, itu semua tak menyadarkannya. Ia bangkit dan memeluk sahabatnya, Karna. Menangis layaknya seorang anak belia yang tengah patah hati, ia menaruh dendam kesumat yang amat dalam pada Bhima. Hidupnya penuh dengan keirihatian seperti itu, dan itulah pangkal sebuah kehancuran.



4 komentar: