Jumat, 02 Desember 2011


SIAT PETENG: MENAIKKAN KRIDIBILITAS


Oleh : Gede Agus Budi Adnyana,S.Pd.B.,M.Pd.H

            Adalah sebuah hinaan dan tantangan sekaligus untuk menunjukkan prestise dikalangan dunia kawisesan dalam terminology  dunia leak di bali, jika menang dalam sebuah pertempuran yang sengit. Pertempuran inilah yang mendongkrak nama dan juga prestise seseorang penekun ilmu kawisesan di Bali dalam banyak hal. Dalam konteks itulah, mengapa pertempuran leak ini bukan semata-mata karena sebuah dendam kesumat saja, melainkan untuk meningkatkan status dan juga untuk meningkatkan kelas dan menguji, sejauh mana tingkatan dan tataran ilmu yang sudah di capai oleh si empunya.
            Pertempuran ini pun sering melibatkan banyak orang atau pun dilakukan seorang diri. Belajar dari sejarah masa lalu, bahwa peperangan adu kawisesan ini sering dilakukan lantaran sebuah ujian yang dilakukan seorang guru kepada muridnya atau dari satu garis perguruan ke perguruan yang lainnya. Ilmu leak ini, dalam tradisi Bali, juga memiliki geneologi garis perguruan yang diwariskan secara murni, dan dalam proses belajar yang tersitematis. Ontology, Aksiologi dan Epistemologi dalam proses ilmu leak sendiri, diturunkan dengan sangat jelas.
            Oleh sebab itulah, mengapa geneologi gari perguruan leak ini, memiliki semacam struktur yang sangat ketat dan juga istematika ilmu yang sangat kompleks. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan, jika seseorang murid dari salah satu geneologi garis perguruan leak ini, memiliki masalah dengan murid dari garis perguruan yang lain, maka ia dapat meminta bantuan kepada kakak seperguruannya. Bahkan bantuan pun dapat saja datang dari sang guru.
            Disinilah kita dapat menemukan ada banyak siat peteng dengan berbagai macam latar belakang masalah. Siat peteng sendiri bagi masyarakat Bali, bukan barang baru lagi, atau paling tidak bukan sebuah hal yang harus ditutupi keberadaannya. Masalahnya adalah, meskipun keberadaan siat peteng ini ada dalam wilayah yang diketahui banyak orang, tidak semua orang dapat dengan mudah memberitahukan siapa-siapa saja dan tempat mana siat peteng itu dilakukan.
            Kita perlu bertanya dengan sangat pelan-pelan dan sedikit halus untuk mencari sebuah informasi yang berkaitan dengan siat peteng ini. Taksu sendiri, sempat mencari beberapa informan yang dianggap mumpuni untuk urusan yang satu ini, namun dari tujuh informan yang ada, hanya seorang yang berani bercerita bagaimana kronologi siat peteng itu, meskipun nama orang yang terlibat di sana tidak disebutkan dengan sangat jelas. Penulis sendiri menyadari akan hal tersebut, sebab ada banyak pantangan, larangan dan juga hal-hal yang bersifat niskala, yang memang tidak dapat disebutkan secara mudah.
            Sebut saja namanya Nyoman Adi yang secara tidak sengaja berbicara kepada seorang guru penekun ilmu kawisesan. Kalimat yang keluar adalah sebagai berikut:
            “Aduh..titiang jeg ten uning ring napi sane kamargiang ring aratu..?” Aduh..saya sama sekali tidak mengetahui apa sebenarnya yang menjadi pelajaran dari anda..?”. demikian adalah sebuah pertanyaan yang sejatinya hanya ingin memuji, sebab merasa diri tidak tahu, tetapi kalimat itu ditanggapi lain oleh Jero Made yang merupakan seorang penekun ilmu magis Bali. Ia mengira bahwa pak Nyoman ingin menantangnya dan meremehkan ilmu yang ia miliki. Maka serta mereta ia berkata:
            Nah..yen do nawang, nyanan di penelahan Galungane, antiang tiang di sisin pasihe..!!”. Nah..jika kamu ingin mengetahui, maka tunggulah saya di tepian pantai saat hari Budha Kliwon Pegat Uwakan..”. jika demikian keadaannya, maka ini merupakan sebuah arena dimana seseorang akan menunjukkan kesaktiannya. Kebetulan juga Nyoman Adi merupakan seorang yang baru-baru menekuni ilmu kawisesan, dan terbilang muda. Dengan demikian darah tempurnya pun mendidih. Dengan segera ia mohon pamit dan mengadu pada seluruh kakak perguruannya.
            Tepat ketika hari yang sudah ditentukan, maka hadirlah sekarang beberapa orang yang berkumpul di tepian pantai. Namun mereka sejatinya adalah sukmanya saja, sedangkan badan kasarnya tidur dirumah dengan nyaman. Sukma itupun kemudian terbang dan menjadi berbagai macam bentuk-bentuk aneh yang menyeramkan. Sebagian besar dari mereka, berubah menjadi api yang berpijar dan menyala-nyala kemudian terbang melayang lalu meledak entah kenapa.
            Kemudian yang lain lagi berubah menjadi burung gagak dengan kecepatan terbang yang sama sekali tidak masuk diakal. Sebagian lagi berubah menjadi kain rurub yang panjang lalu terbang, kemudian ada yang berubah menjadi anjing kurus dan yang lain lagi berubah menjadi  ular terbang. Mereka melakukan pertempuran di sana, namun entah apa yang terjadi, si informan ini enggan untuk kembali menuturkan peritiwa yang sangat membuat penulis penasaran.
            Sadar bahwa hal tersebut adalah hal yang tidak boleh dibicarakan, maka penulis pun menghentikan pertanyaan yang bersifat menekan. Kesimpulan yang berhasil di dapatkan adalah bahwa siat peteng merupakan sebuah unjuk kebolehan dari berbagai macam manusia yang memiliki ilmu kebatinan tingkat tinggi. Sebab dari penuturan  informan yang sama, seseorang yang tidak memiliki sebuah benteng ilmu yang kuat atau tergabung dalam geneologi gari perguruan manapun, akan merasa sangat enggan untuk melakukan unjuk kebolehan demikian. Sebab resikonya sangat besar sekali.
            Bukan berarti manusia Bali adalah manusia yang gemar mencari musuh. Siat peteng ini jika kita telaah kembali ke dalam, maka lebih pada sebuah pendakian sisi gaib manusia Bali, yang mengedepankan keperwiraan dan juga jiwa-jiwa pantang mundur dalam situasi apapun. Inilah yang memelihara Bali, sehingga terlihat sebagai sebuah pulau yang madurgama. (Taksu/ Gede Agus Budi Adnyana)




2 komentar: