Minggu, 04 September 2011


DVAITA DAN ADVAITA VEDANTA
Mengajari Kita Tentang Hidup Rukun Dalam Perbedaan

Oleh : Gede Agus Budi Adnyana, S.Pd.B.,M.Pd.H

                Ala Veda, kita hanya mengenal sebuah perdebatan sengit antara banyak maharesi dan juga pertapa yang saling beradu argumen dalam mencari banyak kebenaran. Diantara mereka bahkan tidak ada cocok dalam konsep ketuhanan sedikitpun, dan mereka juga memiliki cara dan jalannya sendiri untuk menemukan Tuhan mereka sendiri. Para penekun Yoga akan mengejar Tuhan dengan jalan mengatur nafas dan olah tubuh mereka dalam pemusatan setiap tindakan kerja pada satu bentuk Tuhan yang mereka anggap benar.
                Para penekun Bhakti, akan melihat diri mereka sendiri sebagai pelayan dan hanya melayani tanpa harus menuntut ini dan itu. Mereka yang mencari kebenaran hakiki dengan melakukan oleh akal sehat dan menemukan banyak kebenaran valid dari hipotesa mereka susun, juga menemukan Tuhannya masing-masing. Suatu ketika, seorang anak kecil pernah bertanya kepada saya, bagaimana dan apa serta Tuhan yang mana benar, apakah berpribadi atau tidak? Melihat umur dan tingkat kecerdasan spiritualnya, saya merasa sangat khawatir jika menjabarkan Tuhan dalam banyak sloka-sloka Upanisad dan mantra Veda. Syukurnya, anak kecil itu bertanya pada saya bahwa antara Tuhan yang berpribadi dan Tuhan yang tanpa sifat, tanpa bentuk, dan tanpa warna sekalipun, yang mana benar atau yang mana paling tinggi?
                Mungkin ini juga yang sering bertengger di kepala kita tentang Tuhan dan perdebatan tentang Tuhan tidak akan pernah ada habisnya. Jika saya mulai mengerucutkan pola dan konsep Tuhan dalam dua jalan besar Veda, yakni Advaita dan Dvaita, maka kita akan menemukan jalan, falsafah dan juga pengertian yang tidak sama. Yang satu berbicara bahwa hakikat kebenaran tertinggi adalah berpribadi dengan sifat-sifat mirip manusia dan memiliki kata “Maha” di depannya. Sedangkan yang satunya lagi, tidak ada difinisi apapun juga, bahkan mahaguru besar dan pertapa terkenal India bernama Adi Sankaracarya menyatakan Tuhan dengan simpulan Brhad-Aranyaka Upanisadnya dengan kata “Neti-neti” tidak demikian dan tidak demikian.
                Lalu jika kata “tidak demikian-tidak demikian” kita bawa pada satu rumusan tentang konsep Tuhan secara pribadi, maka ini akan berbenturan. Demikian juga sebaliknya jika kita bawa konsep Tuhan dengan berbagai macam bentuknya yang Maha Perkasa, dengan jumlah atribut yang sangat beragam, maka juga akan berbenturan dengan “Neti-neti”. Saya adalah manusia yang meyakini bahwa setiap maharesi, pertapa dan manusia siddha lainnya, yang sudah melakukan banyak tirakat kuat untuk menemukan kebenaran, mereka pasti melihat dengan banyak metode dan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, tetapi sama benarnya.
                Tergantung seberapa suci diri kita, seberapa tajam kecerdasan kita, dan seberapa mantap kita berjalan dalam jalan Veda. Seorang yang tidak pernah melakukan Bhakti dan tidak yakin dengan sabda kitab suci, tidak akan dapat memahami hakikat Tuhan baik dalam jalan Dvaita dan Advaita. Atau ada juga manusia yang percaya pada Tuhan, namun karena ia tidak pernah melakukan tirakat dan memprayascitta dirinya, maka kecerdasan rohaninya tumpul, juga akan kesusahan untuk mengertikan Tuhan secara benar. Lalu bagaimana mestinya? Sebaiknya belajarlah mengenali Tuhan dengan bantuan guru suci rohani yang mumpuni dan di bawah naungan guru parampara. Dengan demikian, kita akan mendapatkan satu kesimpulan yang baik dalam jalan kebenaran yang pasti.
                Seorang anak SD tidak akan dapat memahami Tuhan dengan baik dalam konsep “Neti-neti”. Mereka perlu sebuah bantuan untuk memusatkan indera mereka dan memahami bahwa Tuhan itu nyata dan ada. Demikian juga dengan anak muda yang baru beranjak remaja, tidak akan dapat memahami Tuhan dalam konsep Upanisad sehebat para pertapa atau seorang Mahasiswa. Jadi konsep Tuhan setidaknya ditanamkan dengan melihat berapa umur mereka. Atau setidaknya Tuhan akan terlihat berbeda ketika orang yang sudah matang intuisinya dengan orang yang belum matang intuisinya. Seorang pendosa kelas berat peringkat pertama, ketika ajal tiba, ia akan diseret dalam pengadilan Yama, dan bagi mereka yang merupakan bajingan kelas wahid, maka wajah Tuhan akan tampak menakutkan.
                Tapi bagi seorang sadhu, maka wajah Tuhan akan tampak sejuk dan menawan. Lain lagi, ketika seorang pemuda yang tengah jatuh cinta pada seorang gadis, akan memuja Tuhan mereka, agar asmaranya lancar, dan sebaginya memuja Tuhan mereka dan melihat Tuhan mereka seperti Hyang Kandarpa dengan panah tebunya yang siap menembak hati setiap mahluk. Oh…bagaimana mungkin kita yang kotor ini mendifinisikan Tuhan secara final?
                Mungkin ada yang bisa, namun kesimpulan mereka belum tentu akan sama diterima dengan orang lain. Maka kita sebagai manusia yang berakal setidaknya menempatkan diri sebagai orang yang melihat kebenaran dalam segala jalan dan arah. Dengan demikian, kebijaksanaan akan datang dan menari dalam pikiran kita. Cobalaha kita renungkan mantra berikut:
Om A No Badrah Kratavo Yantu Visvatah “Semoga pikiran yang tenang dan damai datang dari segala penjuru”. Ini menegaskan pada kita bahwa dalam melihat kebenaran, kita hendaknya melihat dalam banyak sisi dan dimensi. Serta menerima kebenaran itu dari berbagai macam arah, mungkin jika kita semuanya berfikir demikian, maka tidak akan ada kelompok yang merasa sebagai komunitas eksklusif dan berdiri di atas yang lain. Atau mengatakan kebenaran hanya milik golongan tertentu dan yang lainnya sesat.
                Alangkah indahnya hidup dengan kedamaian dan ketenangan, hidup dalam keberagamaan dengan multikultur, adalah ibarat seperti banyaknya bunga di sebuah taman. Atau seperti pelangi dengan banyak warna. Tuhan menciptakan manusia dengan akal serta pikiran yang berbeda, itulah mengapa hidup dalam kedamaian meskipun berbeda konsep, adalah perlu dikembangkan. Saya mulai sedih, ketika satu kelompok yang merasa benar menyerang kelompok lain yang bagi mereka salah total, dan akan masuk neraka abadi. Wah…tampaknya kendali Tuhan sudah diambil manusia.
                Mengapa advaita dan dvaita Vedanta tetap berjalan seimbang dalam konsep Tuhan Hindu, itu karena Hindu bukan agama pragmatis dan dogmatis. Hindu adalah sebuah agama tertua di dunia yang memberikan kebebasan pada umatnya untuk melihat kebenaran dalam banyak jalan. Jadi, apa yang harus diperhatikan adalah, bahwa setiap resi Hindu memiliki konsep berbeda namun tetap rukun-rukun saja. Itulah debat ala Veda, perdebatan tidak dilakukan dengan adu otot tapi dengan adu argument dengan otak yang berdasarkan kecerdasan spiritual.
                Alangkah bodohnya kita, ketika kita merasa bahwa konsep kita yang paling baik sedangka yang lain adalah salah. Kemudia mulai mencaci maki yang lain seperti kita sendiri adalah penentu akhir segalanya. Orang yang melihat kebenaran, hanya akan terdiam ketika ia melihat ada banyak cerdik pandai berdebat. Sayangnya, ketika yang bijaksana mulai bicara, si cerdik dan si pandai mulai menertawai. Andaikata syair seorang pujangga besar India bernama Kabir dapat memberikan kita sebuah petuah, bahwa “Aku heran melihat ikan kehausan dalam air…. Mengembara dari satu hutan dan ke hutan yang lain hanya untuk menemukan kebenaran….ternyata kebenaran itu ada dalam diri kita

2 komentar: