SANG HYANG WIRABADRA
Rencang Utama Bhatara Siwa
Oleh : Gede Agus Budi Adnyana,S.Pd.B.,M.Pd.H
Wirabadra, begitu nama salah satu Dewa yang kita bahas sekarang. Nama Dewa Wirabadra ini mungkin tidak akrab di telinga orang-orang Hindu di Bali. Tetapi nama Dewa Wirabadra ini sangatlah banyak dijumpai pada sloka-sloka yang memuat pujian kehadapan Sang Hyang Siwa. Kenapa Sang Hyang Wirabadra ini sangat identik dengan Bhatara Siwa, apa yang melatar belakanginya, hingga perwujudan sang Hyang Wirabadra ini juga sangat mirip dengan Bhatara Siwa?
Sebuah cerita menarik yang berhubungan dengan munculnya sosok Sang Hyyang Wirabadra. Beliau adalah Dewa pengawal Bhatara Siwa, atau dengan istilah Bali-nya, ancangan atau rencang Bhatara Siwa yang paling utama. Dalam beberapa naskah kuno, rencang atau pengawal Sang Hyang Siwa, dikatakan adalah Nandini dan Brnggi. Perlu dicatat, Nandini adalah wahana Sang Hyang Siwa, sedangkan Brnggi adalah pribadi yang menjadi ajudan Sang Hyang Siwa, sedangkan putra Bhatara Siwa sendiri yang bernama Ganaisa atau Ganesha adalah kepala pengawal Siwa, jadi Bhatara Siwa memiliki banyak ancangan dan duwe yang senantiasa ngabih dan mendampingi kemanapun beliau pergi. Salah satunya adalah Sang Hyang Wirabadra.
Suatu ketika, di awal Satya Yuga, sebuah jaman dimana para Dewata dan seluruh tingkatan mahluk mampu berkomunikasi dengan baik, ini karena sifat dari jaman ini memungkinkan untuk hal itu, dan salah satu dari sekian banyak tingkatan mahluk yang menjadi cikal bakal selanjutnya bernama Prajapati.
Dari sekian banyak Prajapati, tersebutlah seorang Prajapati yang bernama Daksa. Ia adalah Prajapati yang memiliki tempramen keras dan sangat penuh wibawa, ia merupakan sosok yang disegani para Yaksa, Gandharwa hingga para Dewata. Suatu ketika, Daksa sang Prajapati menggelar sebuah upacara yang amat megahnya. Upacara itu tiada bandingannya sama sekali diketiga dunia, hamper menyamai Aswamedha yadnya Sang Hyang Indra, sang raja para Dewata.
Namun satu hal yang menyebabkan yadnya besar itu cacat, bahwa yadnya itu digelar hanya untuk menaikkan prestise Daksa sebagai Prajapti dikalangan mahluk penghuni alam Surga. Ia ingin meninggikan drajatnya dengan ritual yang mewah dan terkesan agung, hanya untuk mencari pujian dan ajang unjuk gigi dihadapan para penghuni Siddha Loka (Para Dewata).
Guru para Dewa, Bhagawan Brhaspati adalah Yajamana dalam upacara agung tersebut, didampingi para pendeta dan para Rsi dewata yang sudah tersohor hingga keseluruh penjuru alam. Sang Hyang Narada Muni, Dewa Rsinya para dewata juga hadir dalam upacara tersebut, tidak ketinggalan dewanya kekayaan Sang Hyang Kuwera, dan penyanyi surga bernama Citrarata juga memeriahkan suasana yadnya tersebut.
Siddha Loka menjadi amat meriah karena Daksa merias seluruh lorong jalan tersebut, hingga menyamai Amarawi Sang Hyang Indra. Delapan Wasu, 12 Aditya, hingga Bhatara Agni, Aswini, 49 Maruta, hinngga Yama Dharma Raja, juga diundang dalam upacara tersebut. Beribu-ribu Gandharwa dan penyanyi Surga dihadirkan di sana, dan tidak ketinggalan, sang insinyur alam semesta, Bhatara Brahma juga hadir di sana, sang pemelihara jagat Sang Hyang Narayana juga hadir di sana, lengkap dengan Dewi Saraswati dan juga Dewi Laksmi. Singkat katanya, seluruh Dewa diundang dalam upacara tersebut.
Namun satu kesalahan besar yang dilakukan oleh Daksa adalah, ia tidak mengundang Bhatara Siwa dalam upacara tersebut. Daksa dendam terhadap Sang Hyang Siwa, sebab salah satu putrid Daksa yang bernama Dewi Sati menjadi istri dari Sang Hyang Siwa. Sebenarnya, Daksa tidak setuju jika putrinya yang bernama Dewi Sati menikah dengan Bhatara Siwa, namun Dewi Sati amat sangat mencintai Sang Hyang Siwa, dengan begitu dendam kesumat Daksa sekarang dilampiaskan dalam upacara ini dengan cara tidak mengundang Siwa untuk hadir dalam upacara ini, padahal seluruh penghuni Siddha Loka dan para Dewata diundang dalam upacara agung tersebut.
Dewi sati yang merasa masih putri sang Prajapati Daksa, tanpa diundang hadir dalam upacara tersebut, dengan segera ia mencari ayahnya dan berkata :
“Wahai ayahanda, kenapa anda tidak memberitahu aku dan suamiku tentang upacara besar ini. Seluruh Dewa hadir dalam upacara ini, lalu mengapa ayah tidak mengundang suamiku Siwa? Apakah ia bukan Dewa?”
Mendengan kata putrinya seperti itu, Daksa segera menjawab dengan nada sinis dan menyindir:
“Apa…? Aku harus mengundang Siwa? Ia tidak pantas untuk hadir di dalam upacara megah ini. Jika ia hadir disini, itu sama saja dengan membuat diriku malu. Kau juga, kau adalah anak durhaka, kau lebih memilih Siwa dari pada ayahmu sendiri. Aku tidak pernah punya anak seperti dirimu…! Enyah kau…!”
Dewi sati sakit hati mendengarkan kata sang ayah, dengan segera ia duduk dan mengatur Prananya, lalu membakar dirinya sendiri hingga menjadi abu. Nandini tahu akan hal ini, dengan segera ia melaporkan kejadian ini kehadapan Bhatara Siwa. Bhatara Siwa amatlah murka mendengarnya, beliau menghentikan samadhinya sejenak, matanya merah padam, dan dengan segera beliau mencabut sehelai rambut beliau dan melemparkannya ke tanah. Rambut itu berubah menjadi sosok menyeramkan dengan sepuluh tangan, lengkap menggenggam senjata aneka warna. Mahluk itu bernama WIrabadra.
“ Pergi dan hancurkan Yajna yang dilaksanakan Daksa sekarang…..!”
Wirabadra dengan segera melesat pergi, dan membumi hanguskan upacar Daksa. Brhaspati lari kucarkacir, jenggot Bhatara Brahma dicabuti, Indra tunggang-langgang, 12 Aditya tak mampu menandingi kehebatan Wirabadra, Wishnupun lebih baik menyingkir dari tempat itu, dan seluruh dewata berhamburan menyelamatkan diri masing-masing. Daksa terpenggal trisula Wirabadra, dan selluruh Siddha Loka kacau Balau.
Siwa murka pada saat itu, dan setelah menyelesaikan tugasnya, Wirabadra lalu kembali disisi Bhatara Siwa. Ia diangkat menjadi ancangan utama Bhatara Siwa. Bagi mereka yang hendak menggelar upacara, terlebih lagi upacara tingkat tinggi, maka jangan pernah lupa menghaturkan caru, dan minimal mesegeh untuk ancangan Bhatara Siwa yang satu ini.
Dalam kamus Hindu di Bali, energi Siwa yang sedang murka disebut sebagai Bhuta, dan disomya dengan caru atau segehan. Wirabadra inilah yang membawahi ribuan ancangan Siwa yang berupa Bhuta dan kala –kali.
Dalam tardisi India , Sang Hyang Wirabadra dipuja dalam sebuah ceruk disisi patung Siwa. Pujian baginya sering diucapkan manakala usai sang Hotri menyanyikan pujian kehadapan Sang Hyang Siwa. Dalam beberapa gambarannya, ia sering didampingi dengan saktinya yang bernama Badra Kali. Tangannya sepulh dan sering terlihat dengan rambut yang bergelung kusut, mirip Siwa sendiri.
Ia menunggangi Singa dan Badrakali menunggangi macan. Jika kita kaji, secara filosofi, Badrakali dan Wirabadra adalah aspek Purusa dan Prakerti dalam sosok Siwa sebagai Tandawa Nrtya ( atau penghancur segalanya), jadi Sang Hyang Wirabadra juga sering dipuja sebagai dewanya penghancur atau pelebur.
Dalam kitab Lingga Purana, suatu ketika Dewa Wishnu pernah menjelma sebagai Narasingha dan menghabisi raja raksasa bernama HIranyakasipu.
Seusai menghabisi Hiranyakasipu, Narasingha malah mengamuk dan tidak bias ditenangkan oleh sekian banyak Dewa, maka Sang Hyang Wirabadra turun tangan dan mulai bertempur dengan Wishnu (Narasingha). Disana Sang Hyang Wirabadra dapat membelah sosok Narasingha menjadi dua bagian, dari aspek singanya menjadi Nara , dan di aspek manusianya menjadi Narayana. Nara dan Naraya ini kemudian melakukan tapa hebat di Badarikasrama, salah satu puncak Himalaya . Dan Siwa berkenan dengan tapa dua Rsi perkasa ini, beliaupun berjanji akan ada di sana selamanya, maka lingga itu hingga sekarang bernama Kedaranatha.
Wirabadra banyak andil dalam hal ini, maka tidaklah heran, jika kuil dan mandir Hindu di sana , banyak memujanya sebagai personifikasi Hyang Maha pelebur. Jadi jangan heran jika melihat Wirabadra sedikit menakutkan.(Gede Agus Budi Adnyana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar