SIAT PETENG: MENAIKKAN KRIDIBILITAS
Oleh : Gede Agus Budi Adnyana,S.Pd.B.,M.Pd.H
Adalah
sebuah hinaan dan tantangan sekaligus untuk menunjukkan prestise dikalangan
dunia kawisesan dalam
terminology dunia leak di bali, jika
menang dalam sebuah pertempuran yang sengit. Pertempuran inilah yang
mendongkrak nama dan juga prestise seseorang penekun ilmu kawisesan di Bali dalam banyak hal. Dalam konteks itulah, mengapa
pertempuran leak ini bukan semata-mata karena sebuah dendam kesumat saja,
melainkan untuk meningkatkan status dan juga untuk meningkatkan kelas dan
menguji, sejauh mana tingkatan dan tataran ilmu yang sudah di capai oleh si
empunya.
Pertempuran
ini pun sering melibatkan banyak orang atau pun dilakukan seorang diri. Belajar
dari sejarah masa lalu, bahwa peperangan adu kawisesan ini sering dilakukan
lantaran sebuah ujian yang dilakukan seorang guru kepada muridnya atau dari
satu garis perguruan ke perguruan yang lainnya. Ilmu leak ini, dalam tradisi Bali, juga memiliki geneologi garis perguruan yang
diwariskan secara murni, dan dalam proses belajar yang tersitematis. Ontology,
Aksiologi dan Epistemologi dalam proses ilmu leak sendiri, diturunkan dengan
sangat jelas.
Oleh
sebab itulah, mengapa geneologi gari perguruan leak ini, memiliki semacam struktur
yang sangat ketat dan juga istematika ilmu yang sangat kompleks. Dengan
demikian, tidak menutup kemungkinan, jika seseorang murid dari salah satu
geneologi garis perguruan leak ini, memiliki masalah dengan murid dari garis
perguruan yang lain, maka ia dapat meminta bantuan kepada kakak seperguruannya.
Bahkan bantuan pun dapat saja datang dari sang guru.
Disinilah
kita dapat menemukan ada banyak siat peteng dengan berbagai macam latar
belakang masalah. Siat peteng sendiri bagi masyarakat Bali,
bukan barang baru lagi, atau paling tidak bukan sebuah hal yang harus ditutupi
keberadaannya. Masalahnya adalah, meskipun keberadaan siat peteng ini ada dalam
wilayah yang diketahui banyak orang, tidak semua orang dapat dengan mudah
memberitahukan siapa-siapa saja dan tempat mana siat peteng itu dilakukan.
Kita
perlu bertanya dengan sangat pelan-pelan dan sedikit halus untuk mencari sebuah
informasi yang berkaitan dengan siat peteng ini. Taksu sendiri, sempat mencari
beberapa informan yang dianggap mumpuni untuk urusan yang satu ini, namun dari
tujuh informan yang ada, hanya seorang yang berani bercerita bagaimana
kronologi siat peteng itu, meskipun nama orang yang terlibat di sana tidak disebutkan
dengan sangat jelas. Penulis sendiri menyadari akan hal tersebut, sebab ada
banyak pantangan, larangan dan juga hal-hal yang bersifat niskala, yang memang tidak dapat disebutkan secara mudah.
Sebut
saja namanya Nyoman Adi yang secara tidak sengaja berbicara kepada seorang guru
penekun ilmu kawisesan. Kalimat yang keluar adalah sebagai berikut:
“Aduh..titiang jeg ten uning ring napi sane
kamargiang ring aratu..?” Aduh..saya sama sekali tidak mengetahui apa
sebenarnya yang menjadi pelajaran dari anda..?”. demikian adalah sebuah
pertanyaan yang sejatinya hanya ingin memuji, sebab merasa diri tidak tahu,
tetapi kalimat itu ditanggapi lain oleh Jero Made yang merupakan seorang
penekun ilmu magis Bali. Ia mengira bahwa pak
Nyoman ingin menantangnya dan meremehkan ilmu yang ia miliki. Maka serta mereta
ia berkata:
“Nah..yen do nawang, nyanan di penelahan
Galungane, antiang tiang di sisin pasihe..!!”. Nah..jika kamu ingin
mengetahui, maka tunggulah saya di tepian pantai saat hari Budha Kliwon Pegat
Uwakan..”. jika demikian keadaannya, maka ini merupakan sebuah arena dimana seseorang
akan menunjukkan kesaktiannya. Kebetulan juga Nyoman Adi merupakan seorang yang
baru-baru menekuni ilmu kawisesan, dan terbilang muda. Dengan demikian darah
tempurnya pun mendidih. Dengan segera ia mohon pamit dan mengadu pada seluruh
kakak perguruannya.
Tepat
ketika hari yang sudah ditentukan, maka hadirlah sekarang beberapa orang yang
berkumpul di tepian pantai. Namun mereka sejatinya adalah sukmanya saja, sedangkan badan kasarnya tidur dirumah dengan
nyaman. Sukma itupun kemudian terbang dan menjadi berbagai macam bentuk-bentuk
aneh yang menyeramkan. Sebagian besar dari mereka, berubah menjadi api yang
berpijar dan menyala-nyala kemudian terbang melayang lalu meledak entah kenapa.
Kemudian
yang lain lagi berubah menjadi burung gagak dengan kecepatan terbang yang sama
sekali tidak masuk diakal. Sebagian lagi berubah menjadi kain rurub yang
panjang lalu terbang, kemudian ada yang berubah menjadi anjing kurus dan yang
lain lagi berubah menjadi ular terbang.
Mereka melakukan pertempuran di sana,
namun entah apa yang terjadi, si informan ini enggan untuk kembali menuturkan
peritiwa yang sangat membuat penulis penasaran.
Sadar
bahwa hal tersebut adalah hal yang tidak boleh dibicarakan, maka penulis pun
menghentikan pertanyaan yang bersifat menekan. Kesimpulan yang berhasil di
dapatkan adalah bahwa siat peteng merupakan sebuah unjuk kebolehan dari
berbagai macam manusia yang memiliki ilmu kebatinan tingkat tinggi. Sebab dari
penuturan informan yang sama, seseorang
yang tidak memiliki sebuah benteng ilmu yang kuat atau tergabung dalam
geneologi gari perguruan manapun, akan merasa sangat enggan untuk melakukan
unjuk kebolehan demikian. Sebab resikonya sangat besar sekali.
Bukan
berarti manusia Bali adalah manusia yang gemar
mencari musuh. Siat peteng ini jika kita telaah kembali ke dalam, maka lebih
pada sebuah pendakian sisi gaib manusia Bali,
yang mengedepankan keperwiraan dan juga jiwa-jiwa pantang mundur dalam situasi
apapun. Inilah yang memelihara Bali, sehingga
terlihat sebagai sebuah pulau yang madurgama.
(Taksu/ Gede Agus Budi Adnyana)